Utsman pun kembali. Apa yang dikatakan Quraisy disampaikannya kepada Rasulullah. Kaum Quraiys pun tidak ragu-ragu lagi dengan maksud kedatangan Nabi SAW dan para sahabatnya, yang hanya bermaksud menunaikan ibadah haji.
Mereka juga juga sadar bahwa tidak mungkin melarang siapa saja dari kalangan Arab yang datang berziarah dan melakukan umrah di bulan-bulan suci.
Akan tetapi mereka sudah lebih dulu berangkat di bawah pimpinan Khalid bin Walid dengan tujuan memerangi Rasulullah dan mencegahnya masuk ke Makkah. Dan memang sudah terjadi bentrokan-bentrokan kecil pasukan Quraiys dengan kaum Muslimin.
Jika setelah peristiwa itu mereka membiarkannya masuk Makkah, maka kalangan Arab akan bicara bahwa Quraiys telah menyerah kalah pada Rasulullah. Kedudukan dan kewibawaan mereka akan jatuh di mata bangsa Arab.
Oleh sebab itu, dengan maksud menjaga kewibawaan dan kedudukan mereka, untuk tahun ini mereka tetap bertahan pada pendirian dan sikap semula; melarang Muslimin masuk Makkah.
Tetapi sebenarnya dalam bulan-bulan suci ini mereka tidak mau—dari satu segi—melanggar kesucian agama. Dan dari segi lain, bila terjadi peperangan di bulan suci ini, maka di kemudian hari orang-orang Arab sudah tak lagi merasa aman datang ke Makkah atau ke pasaran kota itu. Dan ini menghancurkan perdagangan Makkah, di mana mayoritas warganya adalah pedagang.
Pembicaraan dan perundingan antara kedua belah pihak pun dimulai lagi. Quraisy mengutus Suhail bin Amr dengan pesan, “Datangilah Muhammad dan adakan persetujuan dengan dia. Dalam persetujuan itu, untuk tahun ini ia harus pulang. Jangan sampai ada kalangan Arab mengatakan bahwa dia telah berhasil memasuki tempat ini dengan kekerasan!”
Ketika Suhail bertemu Rasulullah, dengan panjang lebar ia menjelaskan syarat-syarat perdamaian. Pihak Muslimin di sekeliling Nabi juga turut mendengarkan pembicaraan itu.
Beberapa orang dari mereka sudah tidak sabar lagi melihat tingkah Suhail yang terlalu mendikte Rasulullah, sedang Nabi sendiri terkesan mandah saja.
Kalau tidak karena kepercayaan mutlak mereka pada beliau, dan jika bukan karena iman mereka yang teguh, niscaya hasil perundingan itu tidak akan mereka terima.
Selain itu, kesabaran Rasulullah SAW terlihat jelas ketika terjadi penulisan isi perjanjian di Hudaibiyah itu, yang membuat beberapa orang Muslimin kian kesal. Beliau kemudian memanggil Ali bin Abi Talib dan berkata, “Tulislah! Inilah yang sudah disetujui oleh Muhammad bin Abdullah.”
Dan selanjutnya perjanjian itu menyebutkan bahwa kedua belah pihak mengadakan gencatan senjata selama sepuluh tahun—menurut pendapat sebagian besar penulis Sirah Nabi—atau dua tahun menurut Al-Waqidi.
Barangsiapa dari golongan Quraisy menyeberang kepada Rasulullah tanpa seizin walinya, maka ia harus dikembalikan kepada mereka. Namun jika pengikut Muhammad SAW menyeberang kepada Quraisy, maka tidak akan dikembalikan. Kabilah Arab yang senang mengadakan persekutuan dengan Rasulullah, diperbolehkan.
Demikian pula dengan pihak-pihak yang senang mengadakan persekutuan dengan Quraisy, juga diperbolehkan.
Dan untuk tahun ini Rasulullah dan sahabat-sahabatnya harus kembali meninggalkan Makkah, dengan ketentuan mereka dapat kembali pada tahun berikutnya. Kaum Muslimin dapat memasuki kota dan tinggal selama tiga hari di Makkah dan senjata yang dapat mereka bawa hanya pedang tersarung dan tidak dibenarkan membawa senjata lain.
Begitu perjanjian itu ditandatangani, pihak Khuza’ah segera bersekutu dengan Rasulullah dan Bani Bakar bersekutu pula dengan Quraisy. Pada saat yang sama, Abu Jandal bin Suhail—putra Suhail bin Amr—datang dan hendak menggabungkan diri dengan kaum Muslimin. Namun melihat anaknya bersikap demikian, Suhail langsung memukul dan menyeretnya kembali kepada Quraisy.
Abu Jandal sendiri berteriak kencang, “Saudara-saudara kaum Muslimin, aku akan dikembalikan kepada orang-orang musyrik yang akan menyiksaku karena agamaku ini!”
Melihat kejadian itu, kaum Muslimin makin gelisah dan tidak senang dengan hasil perjanjian yang diadakan antara Rasulullah dan Suhail. Rasulullah berkata pada Abu Jandal, “Abu Jandal, tabahkan hatimu. Semoga Allah membuat engkau dan orang-orang Islam yang ditindas bersamamu merupakan suatu jalan keluar. Kita sudah menandatangani persetujuan dengan mereka. Kesepakatan sudah kita berikan kepada mereka dan mereka pun sudah pula memberikannya kepada kita. Dengan nama Allah, kita tidak akan mengkhianati mereka.”
Abu Jandal kembali kepada Quraisy, sesuai dengan isi persetujuan dan janji Nabi. Suhail kemudian berangkat pulang ke Makkah.
Rasulullah masih tinggal di Hudaibiyah. Beliau gelisah melihat keadaan orang-orang sekelilingnya. Usai melaksanakan shalat, kondisi Rasulullah mulai tenang kembali. Beliau berdiri, menyembelih hewan kurban, lalu mencukur rambut sebagai tanda dimulainya umrah.
Melihat Nabi melakukan itu, dan melihat ketenangan beliau, para sahabat pun bergegas menyembelih hewan dan mencukur rambut mereka.
“Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada mereka yang mencukur rambut,” kata Rasulullah.
Mereka tinggal di Hudaibiyah selama beberapa hari. Masih ada saja yang menanyakan tentang hikmah perjanjian yang dibuat oleh Nabi SAW. Bahkan ada juga yang dalam hati kecilnya masih menyangsikan adanya hikmah tersebut.
Akhirnya mereka berangkat pulang. Sementara mereka di tengah perjalanan antara Makkah dengan Madinah, tiba-tiba turun firman Allah.
Rasulullah kemudian membacakannya kepada kaum Muslimin. “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata. supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus, dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat (banyak).” (QS Al-Fath: 1-3)
Tak diragukan lagi, bahwa Perjanjian Hudaibiyah ini adalah suatu kemenangan yang nyata sekali. Dan memang demikianlah adanya. Sejarah pun mencatat, bahwa isi perjanjian ini adalah suatu hasil politik yang bijaksana dan pandangan jauh ke depan, yang besar sekali pengaruhnya terhadap masa depan Islam dan bangsa Arab.
Inilah pertama kalinya pihak Quraisy mengakui Rasulullah SAW bukan sebagai pemberontak, melainkan sebagai orang yang tegak sama tinggi duduk sama rendah. Dan sekaligus mengakui pula berdirinya dan adanya kedaulatan Islam itu.
Perjanjian Hudaibiyah juga merupakan suatu pengakuan bahwa Muslimin pun berhak berziarah ke Ka’bah dan melakukan upacara-upacara ibadah haji. Dengan demikian, mereka mengakui bahwa Islam adalah agama yang sah di antara agama-agama lain di jazirah itu.
Selanjutnya, gencatan senjata yang selama dua tahun atau sepuluh tahun itu, membuat pihak Muslimin merasa lebih aman dari jurusan selatan, tidak khawatir akan mendapat serangan Quraisy. Hal ini berarti membuka jalan buat Islam untuk lebih tersebar lagi. Bukankah kaum Quraisy—yang merupakan musuh Islam paling gigih dan lawan berperang paling keras—sudah tunduk, sedang sebelum itu mereka sama sekali tidak pernah tunduk?***
Artikel ini sebelumnya sudah ditayangkan Republika yang bersumber dari Sejarah Hidup Muhammad oleh Muhammad Husain Haekal.
Editor: denkur