Bagi orang-orang shaleh terdahulu, kematian merupakan bahan pembicaraan yang menarik. Mereka selalu memperhatikan masalah ini dengan sungguh-sungguh.
Suatu ketika, Sufyan Ats-Tsaury, Yusuf bin Asbath dan Wuhaib bin Al-Warad di satu majelis serius membicarakan masalah kematian.
Ats-Tsauri berkata: “sebelum hari ini, saya tidak suka jika kematian segera mendatangiku. Tetapi, hari ini aku mengharapkan kematian.”
Yusuf bertanya: “mengapa demikian?”
Ats-Tsauri menjawab: “karena aku takut fitnah, yakni takut terseret arus fitnah yang terjadi di tengah manusia, di mana manusia banyak yang mulai melupakan akhirat dan memburu dunia. Kemaksiatan pun mulai tampak kentara.”
Rupanya Yusuf memiliki pandangan lain. “Adapun saya, tidak membenci jika masih diberi kesempatan untuk hidup lama,” ujarnya.
Ats-Tsauri lalu bertanya: “mengapa engkau membenci kematian?”
Yusuf menjawab: “agar aku dapat bertemu dengan suatu hari yang aku bisa bertaubat di dalamnya dan beramal shalih.”
Bagi Yusuf, panjang umur berarti banyaknya kesempatan untuk beramal, bukan untuk berfoya-foya atau berbuat dosa.
Lalu keduanya bertanya kepada Wuhaib yang sejak tadi diam. “Bagaimana menurut pendapatmu wahai Wuhaib?”
Wuhaib menjawab: “saya tidak memilih ini dan itu, apa yang aku suka adalah apa yang disukai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala”.
Maksud Wuhaib saat kematian yang paling ia sukai adalah saat yang dicintai Allah. Ia ingin kematian datang saat Allah ridha kepadanya. Jika detik itu adalah saat Allah paling ridha, ia rela jika harus dikehendaki mati segera. Namun jika umur panjang lebih baik baginya, dan lebih diridhai Allah, iapun menyukainya.
Mendengar jawaban itu, Sufyan berkata: “demi Allah, engkau seorang pemimpin agama”.
Begitulah tiga pandangan ulama tentang waktu kematian yang paling mereka sukai. Namun, semua mengarah kepada satu titik, yakni husnul khatimah (akhir yang baik).***
Editor: denkur | Sumber: Hidayatullah.com