Setiap wanita tentu senang dan bahagia jika dipandang spesial oleh keluarga dan lingkungannya. Hal ini termasuk bagian dari tabiat kaum hawa. Namun, Islam memberikan koridor yang jelas, bahwa wanita hebat tak perlu melampaui fitrahnya yang mulia.
Mengenai hal ini Rasulullah ﷺ bersabda, “Sebaik-baik kaum wanita penunggang unta (sebutan untuk kaum wanita Arab) adalah wanita-wanita Quraisy yang baik agamanya (pergaulan dengan suami dan lainnya). Mereka adalah wanita paling menyayangi anaknya ketika kecil dan paling mampu menjaga harta suaminya.” (HR. Bukhari Muslim).
Hadits di atas memberikan sebuah ruang lingkup kapan seorang wanita disebut hebat dalam pandangan Islam. Ternyata tidak harus narsis, suka selfie, atau pun gemar ngeshare kegiatan sehari-hari bak selebriti.
Tetapi, wanita yang baik pergaulannya dengan suami. Baik di sini pun sudah cukup jelas acuannya di dalam banyak hadits Nabi ﷺ. Seperti menyenangkan kala dipandang suami, taat dengan perintahnya, dan mampu menjaga kehormatan diri dan suaminya.
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci.” (HR. An-Nasai).
Jika didalami lebih lanjut, semua kriteria itu memang justru berada di ruang-ruang yang tak perlu ada orang lain mengetahui (privasi), kecuali dalam maksud dan tujuan memberikan pelajaran agar dapat ditiru dan menjadi panduan orang lain yang akan berumah tangga.
Dengan demikian menjadi wanita hebat tak membutuhkan apa yang menjadikan banyak wanita terlena, seperti hobi shopping, jalan-jalan, dan lain sebagainya yang membuat keberadaan mereka di dalam rumah hanya membutuhkan istirahat karena lelah bepergian, kemudian abai dan meremehkan sikap menunda-nunda dalam memberikan penghormatan kepada suami maupun dalam melayani anak-anak yang sangat membutuhkannya.
Kita tentu sama-sama ingat bagaimana telapak tangan putri kesayangan Rasulullah ﷺ mesti melepuh karena menggiling gandum sendiri. Kalau mau, tentu saja pekerjaan itu bisa diwakilkan kepada pembantu rumah tangga. Tetapi itu tidak dilakukan. Karena Fatimah Az-Zahrah sangat ingin keluarganya, suami dan anak-anaknya makan dari olahan tangannya sendiri.
Sekarang betapa banyak istri yang justru “menodong” suami untuk pergi makan di luar pada hari-hari tertentu. Bahkan, itu pun dijadikan patokan seorang suami baik dan penyayang.
Akibatnya, iklan beragam menu makan dan tempat makan sangat masif hari ini. Sekali waktu mungkin tak masalah, tetapi jika menjadi sebuah keharusan, terjadwal seperti sebuah event penting dan harus, di sini seorang wanita mesti ingat akan fitrahnya sebagai istri dan ibu dari generasi masa depan.
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan tinggallah kalian di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berdandan sebagaimana dandan ala jahiliyah terdahulu.” (QS. Al-Ahzab [33]: 33).
Kriteria selanjutnya adalah yang paling menyayangi anak-anaknya. Kata “paling” menunjukkan bahwa tidak ada prioritas seorang wanita yang telah berkeluarga dan dikaruniai anak melainkan mendidik mereka dengan sepenuh hati. Sebab generasi yang kuat lahir dari kedekatan hubungan emosional anak dengan sang ibu kala bayi, anak-anak, hingga belia dan dewasa.
Tetapi kita bisa saksikan saat ini betapa banyak ibu yang menitipkan buah hatinya ke berbagai macam bentuk penitipan. Ia bahkan tak sempat menemani anaknya sepanjang matahari bersinar. Beragam alasan mengemuka dan semua terasa rasional, benar, dan harus. Kala memandang kebutuhan akan finansial dan masa tua.
Bahkan lebih tragis lagi, seorang ibu yang sudah berada di dalam rumah, namun yang paling digandrungi adalah handphone, sehingga ketika anak menangis, ia posting kekesalan atau pun kegembiraan menemani sang buah hati ke media sosial. Publik dunia maya mungkin melihat ibu tersebut luar biasa, tapi tidak dengan kenyataannya.
Sebab ibu yang benar-benar memprioritaskan anak tak mungkin sempat menceritakan apapun ke dalam media sosial. Melainkan memang hal-hal yang layak dan penting diketahui publik, berupa sikap menghadapi bayi yang rewel, anak yang mulai kritis dalam bertanya, hingga yang sedang tumbuh remaja, sehingga pola pengasuhan yang dilakukan menjadi inspirasi bagi ibu-ibu lainnya.
Terakhir, menjaga harta dan kehormatan suami. Hal ini secara gamblang ditegaskan di dalam Al-Qur’an.
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
“Sebab itu maka wanita yang shaleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada” (QS. An Nisa’ [4]: 34).
Ath Thobari menjelaskan, “Wanita tersebut menjaga dirinya ketika tidak ada suaminya, juga ia menjaga kemaluan dan harta suami. Di samping itu, ia wajib menjaga hak Allah dan hak selain itu.”
Dengan demikian, teranglah kriteria wanita hebat di dalam Islam. Ia tidak perlu menjadi seolah seorang selebriti untuk mendapatkan kehormatan, apalagi sampai mengumbar hal-hal yang tidak perlu ke publik melalui media sosial. Jika hal ini dipahami dengan baik oleh seluruh Muslimah, insya Allah ke depan generasi Islam akan menjadi generasi tangguh dan unggul, insya Allah.***
Editor: denkur
Artikel ini dikutip seutuhnya dari laman Hidayatullah.com, Imam Nawawi, Jumat (7/2/2020)