Pemutusan internet dilakukan setelah tayangan siaran langsung yang dibagikan di platform media sosial menunjukkan kendaraan militer dan tentara bergerak melalui beberapa bagian negara.
DARA| BANDUNG- Junta militer Myanmar memutus jaringan internet dan mengerahkan pasukan ke seluruh negeri pada Senin (15/2/2021).
Tanda-tanda penumpasan yang dikhawatirkan mengarah pada pengunjuk rasa anti-kudeta, beberapa jam setelah pasukan keamanan mengeluarkan tembakan untuk membubarkan demonstrasi di utara negara itu.
Junta baru-baru ini meningkatkan upaya untuk menghentikan kampanye pembangkangan sipil yang sedang berkembang, yang menuntut kembalinya pemimpin negara yang digulingkan Aung San Suu Kyi.
Pemutusan internet dilakukan setelah tayangan siaran langsung yang dibagikan di platform media sosial menunjukkan kendaraan militer dan tentara bergerak melalui beberapa bagian negara.
Kelompok pemantau Netblocks mengatakan pemadaman informasi yang diperintahkan negara telah membuat hampir seluruh wilayah Myanmar berada di luar jangkauan atau offline.
Pasukan di Myitkyina menembakkan gas air mata kemudian menembaki kerumunan yang berunjuk rasa menuntut penghentian rumor pemadaman jaringan listrik.
Seorang wartawan di TKP mengatakan, tidak jelas apakah polisi menggunakan peluru karet atau peluru tajam.
Media lokal mengatakan, setidaknya lima jurnalis yang memantau demo itu ditahan dan menerbitkan gambar beberapa orang yang terluka dalam insiden tersebut.
Pernyataan bersama dari duta besar AS, Inggris dan Uni Eropa mendesak pasukan keamanan untuk tidak membahayakan warga sipil.
“Kami menyerukan pasukan keamanan untuk menahan diri dari kekerasan terhadap demonstran, yang memprotes penggulingan pemerintah sah mereka,” jelas pernyataan tersebut, dilansir merdeka.com, Senin (15/2/2021).
Kedutaan Besar AS meminta warga Amerika di Myanmar untuk menetap di tempat tinggal masing-masing dan tidak mengambil risiko melanggar jam malam yang diberlakukan rezim militer.
Pelapor khusus PBB, Tom Andrews mengatakan upaya junta untuk mengendalikan gerakan unjuk rasa yang berkembang di negara itu adalah tanda “putus asa” dan sama dengan deklarasi perang terhadap rakyatnya sendiri.
“Perhatian jenderal: Anda AKAN dimintai pertanggungjawaban,” tulisnya di Twitter.
Pemutusan jaringan internet akhir pekan lalu gagal meredam perlawanan yang memicu kerumunan massa yang memadati pusat kota besar dan desa-desa perbatasan yang terisolasi.
Para pekerja yang mogok, termasuk di antara 400 orang yang ditangkap sejak kudeta. Hal ini disampaikan kelompok pemantau Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik.
Namun ketakutan akan penangkapan tidak menghalangi massa untuk kembali ke jalan-jalan di seluruh negeri selama sembilan hari berturut-turut, melakukan aksi unjuk rasa jalanan pada Minggu.
Di kota Dawei, wilayah selatan, tujuh anggota polisi bergabung dengan pengunjuk rasa anti-kudeta.
Dalam beberapa hari terakhir, beberapa wilayah membentuk brigade pengawas lingkungan untuk memantau masyarakat mereka dan mencegah penangkapan warga yang bergabung dengan gerakan pembangkangan sipil.
“Kami tidak mempercayai siapa pun saat ini, terutama mereka yang berseragam,” kata Myo Ko Ko, seorang anggota patroli jalan di Yangon.
Di dekat stasiun kereta pusat kota, penduduk menaruh batang pohon di jalan untuk memblokir kendaraan polisi dan mengawal petugas yang berusaha mengembalikan karyawan kereta api yang mogok kerja.
Editor : Maji