Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Adipati (PRA) Arief Natadiningrat mendukung gagasan pemisahan “kebudayaan” dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat. Maksudnya agar pemerintah lebih fokus membangun kebudayaan Jawa Barat.
DARA | BANDUNG – “Bagi daerah yang mempunyai potensi budaya tinggi dan pariwisata tinggi dapat didirikan dinas secara mandiri, yakni dinas kebudayaan dan dinas pariwisata, agar pengelolaannya lebih fokus,” kata Arief melalui pesan singkatnya, seperti dikutip dari galamedianews.com, Rabu (11/6/2020).
Menurut Ketua Forum Silaturahmi Keraton Nusantara (FSKN) ini, Jawa Barat dan Cirebon memiliki budaya yang adiluhung dan pariwisata yang indah dan bagus.
Sebelumnya wacana pemisahan kebudayaan dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat sempat dihembuskan oleh kalangan seniman dan budayawan Jawa Barat. Koreografer seni tradisi, Mas Nanu Muda.
Ia mengungkapkan, adanya pemisahan dinas kebudayaan tersendiri, tidak disatukan dengan pariwisata, membuat semua unsur yang terkait dengan kebudayaan akan terakomodir. Hal itu berkaitan dengan kebudayaan sebagai konsep gagasan, ide, sistem budaya, wujud gagasan, dan nilai-nilai budaya, serta filosofi.
Sistem budaya yang berkaitan dengan aktivitas, yaitu potensi lokal budaya yang berkaitan fungsi seni ritual/sakral (adat istiadat), hiburan dan seni Pertunjukan.
Sistem budaya yang berkaitan wujud fisik, yaitu nilai-nilai peninggalan yang berwujud artefak, situs dan sebagainya.
“Dengan adanya Dinas Kebudayaan berarti adanya pengelompokan atau pemetaan kebudayaan, yakni kebudayaan yang berkaitan dengan nilai-nilai lama (buhun/resibioculture), kebudayaan yang berkaitan dengan nilai kebudayaan dominan (budaya dominan/dominan culture), dan Kebudayaan yang berkaitan dengan nilai-niali baru (budaya baru/enerzingculture),” jelasnya.
Sementara itu, Wakil Rektor Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, Suhendi Apriyanto mengungkapkan, ada dua alasan kuat ‘kebudayaan’ harus terpisah dari dinas kepariwisataan. Pertama, pemahaman kebudayaan yang selama ini ada di kalangan birokrat cenderung sempit, mengingat yang dimaksud kebudayaan hanya soal ‘kesenian’ saja.
“Padahal jika merujuk kepada pandangan Koentjaraningrat (1990), kebudayaan sebagai sistem itu memiliki 7 unsur sub sistem, dan seni atau kesenian hanya salah satu sub sistemnya.
Apalagi jika dikaitkan dengan pandangan Max Weber (1994), kebudayaan itu sangat luas, karena menyangkut ‘sistem nilai, sistem kepercayaan’, serta ‘pandangan hidup’,” terang Suhendi.
Oleh karenanya, kata Suhendi, dalam istilah asing dikenal dengan sebutan ‘culture’ (sistem nilai dan sistem kepercayaan) atau ‘civilization’ (pandangan hidup dan peradaban).
Jadi kebudayaan yang begitu luas yang boleh jadi sebagai alat kontrol dari peradaban (karena nilai hubungannya dengan norma) dianggap kecil, jelas perkeliruan penanganan yang dilakukan berulang-ulang.
“Apalagi di Disparbud Jabar hanya sebatas bidang. Sangat jauh dari arti kebudayaan yang sesungguhnya,” ujarnya.***
Editor: denkur