Kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan akhir-akhir ini sering terjadi. Berbagai kasus muncul membuat merinding bulu kuduk. Apa yang salah dalam tatanan kehidupan ini?
Butuh undang-undang yang jelas dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan ini. Begitu beberapa orang menegaskan.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Bintang Puspayoga mengapresiasi langkah DPR RI yang telah menetapkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) sebagai RUU inisiatif DPR di dalam Sidang Paripurna DPR RI.
Menurutnya keputusan ini merupakan angin segar bagi upaya menuntaskan kekerasan, terutama yang dialami perempuan dan anak serta kelompok disabilitas. Kekerasan ini sering kali berdampak tidak hanya bagi korban namun juga pada seluruh keluarga yang berlangsung seumur hidup.
“Pada dasarnya kami sangat memahami dan sepakat bahwa Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) tidak saja melindungi perempuan dan anak-anak, tapi juga melindungi semua anak bangsa. RUU TPKS akan memberikan kepastian hukum dalam pencegahan, perlindungan, penanganan, dan pemulihan bagi korban,” ujar Menteri Bintang, dikutip dari laman resmi KemenPPPA.
Bintang juga mengatakan, RUU TPKS ini harus secara hati-hati dan cermat dibahas agar jadi payung hukum yang mampu melindungi bangsa ini dari kekerasan seksual. UU yang kita hasilkan nanti harus bermanfaat bagi bangsa dan negara.
Setelah keputusan paripurna ini, nantinya DPR RI akan bersurat kepada Presiden dan Presiden akan menugaskan menteri yang mewakili untuk membahas Rancangan Undang-Undang bersama DPR dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima.
“Dengan ini kami selalu siap bila nantinya Presiden memerintahkan KemenPPPA untuk menyusun Daftar Isian Masalah (DIM),” tegasnya.
Diungkapkan pula, selama ini KemenPPPA telah melakukan usaha menyinergikan pekerjaan dan membangun kesepahaman di antara Kementerian/Lembaga, baik di dalam Gugus Tugas Percepatan Pembahasan RUU TPKS maupun dalam kesempatan koordinasi bersama leading sector terkait lainnya, seperti dengan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, dan Kementerian PAN-RB.
“Tentunya kami berharap proses pembahasan ini nantinya dapat berjalan lancar, mencakup segala pemikiran, serta menemukan kesepahaman di dalam pembahasan setiap pasal pengaturannya. Lebih jauh kami berharap nantinya pembahasan benar-benar mencakup semua aspek penanganan kekerasan seksual, mulai dari pencegahan, penanganan, pemulihan, dan rehabilitasi,” jelas Menteri Bintang.
Lalu kenapa kekerasan seksual akhir-akhir ini sering terjadi?
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga menyatakan komitmen Negara untuk selalu hadir dalam pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Pada 2020, KemenPPPA mendapatkan tambahan fungsi implementatif, yaitu pelayanan rujukan akhir sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2020.
Namun demikian, berbagai tantangan masih dihadapi oleh KemenPPPA dalam menjalankan fungsi tersebut. Dijelaskan Bintang, tantangan pertama adalah adanya gap antara meningkatnya jumlah korban dan keluarga korban yang telah mampu membuka suara dengan ketersediaan lembaga yang menangani.
Tantangan kedua, adanya gap antara kualitas kekerasan yang semakin beragam dengan kualitas penanganan.
Tantangan ketiga, adanya gap antara keluasan cakupan wilayah dengan sistem penanganan dengan efektif, cepat dan sinergis.
“Dengan demikian bila diringkaskan maka dari aspek penanganannya, korban belum memperoleh keadilan secara cepat dan mudah, serta mendapatkan pemulihan yang diperlukan,” ujar Menteri Bintang, tempo hari.
Meski menghadapi berbagai tantangan dalam menjalankan fungsi sebagai layanan rujukan akhir, KemenPPPA telah melakukan berbagai aksi nyata dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan menggunakan prinsip cepat, komprehensif, dan terintegrasi.
Beberapa diantaranya pengembalian anak-anak asal Cianjur yang dijual ke Nusa Tenggara Timur, pendampingan kasus kekerasan dan eksploitasi seksual pada anak di Jakarta, serta beberapa kasus lainnya.
“Ketika kita bicara mengenai tugas dan fungsi ini, memang membuka ruang kami untuk bisa melakukan pelayanan secara langsung, tapi ada keterbatasan kami yang dibentengi oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 mengenai Pemerintah Daerah. Mana yang boleh kami eksekusi langsung, mana yang sebatas koordinasi yang bisa kita lakukan,” tutur Menteri Bintang.
Lebih lanjut, Menteri Bintang menjelaskan, berdasarkan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) Tahun 2021, prevalensi anak usia 13-17 tahun yang pernah mengalami satu jenis kekerasan atau lebih di sepanjang hidupnya mengalami penurunan dibandingkan tahun 2018. Meski begitu, Menteri Bintang meminta seluruh pihak tetap waspada terhadap angka dan modus yang kian beragam.
“Menurun sebesar 21,7% bagi anak perempuan dan 28,31% bagi anak laki-laki dalam kurun waktu 3 tahun. Penurunan prevalensi juga terlihat bagi anak yang mengalami jenis kekerasan seksual. Meskipun penurunan prevalensi kekerasan terhadap anak ini merupakan berita yang baik, namun patut menjadi perhatian kita semua bahwa angkanya masih cukup tinggi dan memprihatinkan kita semua. Apalagi sepanjang tahun 2021, terutamanya 3 bulan terakhir, tidak ada pemberitaan tanpa kekerasan seksual terhadap anak-anak kita, ini menjadi perhatian kita bersama demikian juga ketika kita melihat modus yang semakin beragam dan mengerikan,” ungkap Menteri Bintang.
Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy menyatakan, pemerintah berkomitmen kuat untuk memerangi, mencegah kasus-kasus kejahatan seksual, terutama yang terjadi pada anak.
“Pemerintah telah menetapkan berbagai peraturan perundang-undangan yang kita anggap cukup, termasuk produk turunannya, yang semuanya memiliki fungsi untuk melindungi anak dari kejahatan, termasuk kejahatan seksual maupun kekerasan lainnya, yaitu UU Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Pornografi, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2015 Tentang Perlindungan Anak dan perubahannya, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Menteri,” ujar Muhadjir.
Muhadjir menekankan pentingnya implementasi dari peraturan perundangan yang ada, komitmen dan koordinasi antar lembaga pusat sampai ke daerah, serta penguatan unit perlindungan perempuan dan anak.
“Kepada Menteri, Kepala Lembaga Negara, Gubernur, Bupati, Wali Kota, Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa, serta seluruh pihak yang menangani kejahatan seksual terhadap anak, mari kita bekerja sama dan bergotong royong untuk mengimplementasikan peraturan perundang-undangan yang ada, menjalankan dalam upaya menghapus kejahatan seksual terhadap anak. Demi kepentingan masa depan bangsa, di samping kepentingan masa depan anak itu sendiri,” kata Muhadjir.
Editor: denkur