Ancaman kekeringan semakin nyata bagi industri kelapa sawit di Indonesia.
DARA | Beberapa wilayah dengan tingkat defisit air tinggi, seperti Lampung, Kalimantan Selatan, dan Sumatera
Selatan, mengalami penurunan produksi signifikan akibat kurangnya pasokan air yang cukup.
Berdasarkan data dari SMART Research Institute, defisit air yang tinggi dapat menyebabkan penurunan produksi sawit hingga 8-10% per tahun. Jika kondisi ini terus berlanjut, total potensi kerugian bagi industri bisa mencapai 4,6 miliar dolar AS per tahun.
“Perubahan iklim semakin sulit diprediksi, dan dampaknya terhadap sektor perkebunan sangat besar. Oleh karena itu, kami mengembangkan solusi berbasis genetik untuk menciptakan bibit sawit yang lebih tahan terhadap kekeringan,” ujar Reni Subawati, peneliti dari SMART Research Institute.
SMART Research Institute telah mengembangkan metode seleksi tanaman berbasis Drought Factor Index (DFI) dengan memanfaatkan teknologi Chlorophyll Fluorescence. Teknik ini memungkinkan para peneliti untuk mengidentifikasi tanaman yang memiliki tingkat toleransi lebih tinggi terhadap kondisi kekeringan dengan cara yang lebih cepat dan efisien.
Setelah melakukan penelitian selama lebih dari satu dekade, tim peneliti berhasil menguji 1.400 progeni dari 113 famili bibit sawit. Dari hasil penelitian tersebut, ditemukan 14 kandidat varietas toleran, dengan dua varietas unggulan yakni SD14 dan SD63.
Hasil uji lapangan di Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa kedua varietas ini mampu menjaga tingkat produksi lebih baik dibandingkan varietas konvensional. Pada kondisi kekeringan ekstrem seperti yang terjadi pada 2014 dan 2015, SD14 mampu meningkatkan hasil produksi 14-22%, sementara SD63 meningkatkan hasil panen 13-27% dibandingkan tanaman sawit yang lebih sensitif terhadap kekeringan.
Meski demikian, varietas ini tidak sepenuhnya tahan terhadap kekeringan. Reni menjelaskan bahwa SD14 dan SD63 dikategorikan sebagai varietas dengan toleransi sedang (intermediate tolerant), yang berarti bahwa meskipun tetap mengalami penurunan produksi saat kekeringan, angkanya jauh lebih rendah dibandingkan varietas biasa.
“Kami tidak bisa menjanjikan varietas yang 100% tahan kekeringan. Namun, dengan menggunakan varietas ini, penurunan hasil produksi akibat kekeringan dapat ditekan secara signifikan,” ujarnya.
Saat ini, SD14 telah menjalani sidang pelepasan varietas dan mendapat rekomendasi dari Tim Penilai Pelepasan Varietas (TPPV). Proses administrasi final masih berlangsung, dan diharapkan varietas ini segera mendapat persetujuan resmi dalam waktu dekat.
Selain memberikan solusi bagi perkebunan sawit yang terdampak kekeringan, penelitian ini juga menjadi langkah penting dalam menjaga stabilitas ekonomi industri kelapa sawit nasional. Dengan penurunan hasil panen yang lebih terkendali, potensi kehilangan pendapatan akibat kekeringan dapat ditekan secara signifikan.
“Ke depan, kami berharap lebih banyak pihak yang dapat mengadopsi teknologi ini agar dampak kekeringan terhadap industri sawit dapat diminimalkan. Dengan inovasi berbasis sains, kita bisa menghadapi tantangan perubahan iklim dengan lebih baik,” tutur Reni dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Jumat (14/2/2025).
Tentang ICOPE 2025
Konferensi Internasional Kelapa Sawit dan Lingkungan (ICOPE) 2025 adalah konferensi internasional yang diselenggarakan setiap dua tahun sekali dan bertujuan menjadi platform ilmiah untuk pengembangan kelapa sawit berkelanjutan guna mengatasi tantangan lingkungan.
ICOPE diselenggarakan bekerja sama antara Sinar Mas Agribusiness and Food, World Wildlife Fund (WWF) Indonesia, dan CIRAD Prancis. ICOPE yang akan datang dijadwalkan akan berlangsung di Bali Beach Convention, Sanur – Bali, pada 12-14 Februari 2025.
Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi situs web kami: www.icope-series.com dan dapatkan pembaruan terbaru dengan mengikuti Instagram ICOPE Series.***
Editor: denkur