OLEH: Sabpri Piliang
WARTAWAN SENIOR
SAAT itu musim panas (Summer). Cuaca di Bandara Ljubljana rinai-rinai (gerimis) berawan. Langit terang bercahaya, seperti bergembira. Menyambut tamu Agung, calon menantu “bangsa Slovenia”.
Ada peristiwa nihil, ajaib tak terperikan. Sang milyarder akan berkunjung ke desa kecil bernama Sevnica. Pilot kesayangan Donald Trump, Mike Donovan dengan lincah. Mendaratkan pesawat mewah berlapis emas pada sabuk pengaman, kamar tidur, dan kamar mandi Boeing seri 727 (2002).
Dua anak manusia berusia uzur: Viktor Knavs dan Amalija Knavs, dengan hati “membuncah”. Bergegas menuju Ljubljana. Sekitar 86 kilometer dari desanya bernama Sevnica. Sang pacarlah (baca: Melanie Trump) yang meminta pesawat berbelok arah.
Pemberitahuan mendadak kepada pilot Mike Donovan. Membuat pesawat tak jadi terbang “directly” dari London ke New York, di mana sang milyarder berbisnis.
“Hipokorisme” (julukan): populis, proteksionisme, nasionalis, isolasionisme, dan ‘playboy’ kepada Donald Trump, membuat Presiden AS 2017-2021 ini, mengikuti kemauan Melania Knavs (Melania Trump/2005). Trump begitu dinanti, begitu diharap. Mendarat di Negeri yang orang Eropa pun menduga Slovenia itu “antah berantah”?
Apakah bagian dari Rusia? Di mana tidak satu dolar pun modal pengusaha kaya Donald Trump diinvestasikan pada negara pecahan Yugoslavia ini. Citra yang mencolok, dan simbol megah dalam diri Trump, telah menciptakan aura kekuasaan, kekaguman masyarakat Slovenia.
Trump telah menampilkan simbol kekuasaan, lewat kekayaannya yang melimpah. Pesawat pribadi dengan logo tulisan “Trump”, berpakaian necis, menegaskan kehadiran Trump di Slovenia, seperti tengah menunggu seorang Presiden di Bandara Ljubljana.
Donald Trump, tiga tahun sebelum menikah dengan Melania Knavs (2002), telah “dianggap” Presiden oleh bangsa Slovenia. Impian itu terbukti, tahun 2017-2021, “Gadis Slovenia”, Melania Trump menjadi Ibu Negara.
Sebentar lagi, di bulan Januari 2025-2029, Melania Trump kembali menjadi Ibu Negara Amerika Serikat (AS). Ini setelah Donald Trump (Partai Republik), mengalahkan secara telak Capres Kamala Harris (Demokrat). Hingga, Kamis (7 Nov), Suara Elektoral Donald Trump telah melampaui ambang batas menang.
Dengan jumlah “Suara Elektoral’ (Electoral College) Trump 295, tidak mungkin bagi Kamala Harris (226) untuk menyusul. Syarat untuk dinyatakan sebagai pemenang , cukup dengan poin 270 suara elektoral. Donald Trump telah melampauinya, dengan Plus 25 suara.
Mengacu pada jumlah “Electoral College” total 538, maka “Electoral College” yang ter-publish” telah mencapai 521. Berarti tersisa tinggal 17 suara lagi. Seandainya, katakanlah ke-17 suara terakhir dimasukkan ke dalam “keranjang” Kamala Harris, jumlah maksimalnya hanya 243. Hingga ‘esai’ ini ditulis, Donald Trump telah mengumpulkan 295 suara “Electoral College”.
Di sisi lain, untuk suara. Trump telah mendapatkan 72,7 juta suara (51 persen), dan Kamala Harris 68,1 juta (48 persen). Namun persentase ini tidak mempengaruhi. Hasil “Electoral College” lah yang akan memilih anggota, di mana kemudian mereka yang bakal menentukan Presiden terpilih.
Mengapa rakyat AS memilih Donald Trump yang populis? Mengapa tidak memilih “Sang Bunga Teratai”, Kamala Harris? Dalam bahasa Sanskerta Kamala adalah “Bunga Teratai”. Kamala, terlihat cerdas dan tenang. Sementara Donald Trump lebih emosional. Why?
Meskipun, kesan di mata publik dunia. Mungkin juga di mata publik (AS). Kemenangan Trump akan lebih membawa dunia pada “keributan”. Sementara Kamala Harris dinilai, akan lebih mudah me-menej konflik. Terutama krisis Palestina secara lebih “advanced”.
Saya teringat dengan politisi ulung AS, Henry Kissinger. Dia bukanlah diplomat terbaik, namun dia tahu struktur politik dan intrik. Keberadaannya merupakan “kartu as” (truf) bagi Presiden Richard Nixon. Mengalahkan, atau menyingkirkannya, akan menyebabkan kekacauan.
Apalagi? Donald Trump, seperti halnya Henry Kissinger. Terlalu banyak tahu di banyak bidang dan aspek. Dia juga banyak memiliki sekutu, sehingga Trump bisa mengatur posisinya sendiri harus di mana, dan seperti apa? Partai Republik, tergiring hanya punya satu calon “gaek” yang sudah 78 tahun. Tak adakah yang lebih muda?
Bisa jadi keyakinan Partai Republik telah dihitung betul. Membandingkan Donald Trump (78), dengan Kamala Harris (60), Kamala jauh lebih memiliki aura menyenangkan (dikasihi) dan muda. Tidak berwajah intrik. Sementara Trump, berkesan justru sebaliknya.
Suatu ketika filosof Italia dan pakar realitas politik Niccolo Machiavelly (1469-1527) menyebut, “dalam kehidupan adalah lebih baik disegani. Ketimbang harus dikasihi. Rakyat AS lebih memilih Trump. Mungkin, karena lebih disegani sekaligus dikasihi.
Sebelum dilantik 20 Januari 2025, Donald Trump, sepertinya akan kembali mengunjungi Ljubljana. Mudik mengunjungi kerabat sang isteri (Melania Trump). Juga mertua: Viktor Knavs dan Amalija Knavs.