DARA | JAKARTA – Aba Bakar Ba’asyir menghirup kebebasan setalah sembilan tahun mendekam dalam penjara atas kasus terorisme. Adalah Yusril Ihza Mahendra yang menggagas pembebasan Ba’asyir hingga disetujui Presiden, Joko Widodo. Pro kontra pun mengemuka, mengingat pembebasan tokoh Islam itu terjadi saat panas-panasnya suhu politik tanah air jelang pilpres.
Meski dibebaskan dari penjara, namun kata Yusril Ihza Mahendra, tetap saja Ba’asyir menolak menandatangani kesetiaan kepada Pancasila. Basyir hanya mau patuh kepada Allah SWT dan tidak akan matuh aturan serta ideologi lain.
Pengamat terorisme dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Zaki Mubarak, mengatakan itu sudah jadi jalan hidup Ba’asyir sejak era Orde Baru. Maklum, ia sejak dulu pernah menjadi aktivis pemuda Islam di masa mudanya dan pertama kali ditangkap serta divonis penjara tahun 1983.
Ba’asyir bersama Abdullah Sungkar–rekannya dalam mendirikan Ponpes di Ngruki–ditangkap dengan tuduhan menghasut dan menolak Pancasila, serta menolak hormat pada Merah Putih. Mereka lalu divonis 9 tahun penjara, namun melarikan diri ke Malaysia.
Bagi Ba’asyir Pancasila adalah thaghut. Umat Islam dalam pandangannya hanya boleh patuh pada Alquran dan hadis. “Islam harus sebagai dasar negara, bukan Pancasila. Penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Islam dinilainya sebagai penguasa thaghut yang harus diingkari,” kata Zaki seperti dilansir CNNIndonesia.com, Senin (21/1).
Ba’asyir memegang teguh konsep hakimiyyah hingga saat ini. Itu artinya, Allah lah sebagai pemegang kuasa, bukannya manusia lewat produk undang-undangnya. “Jadi bahwa Ba’asyir sampai hari ini tidak mau tanda tangan kesetiaan pada Pancasila memang ideologinya semacam itu. Dia memegang teguh konsep hakimiyyah,” ujarnya.
Ba’asyir pun memandang bahwa ideologi yang dipatuhi harus bersifat Islam yang kaffah atau total, tidak setengah-setengah atau sekadar model penerapan syariat Islam terbatas.
Menurutnya, hal itu dapat dilihat dari pandangan sinis Ba’asyir terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh karena masih di bawah otoritas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dinilai sekuler.
Zaki mengatakan Ba’asyir pernah menyatakan bahwa model pemerintahan yang ideal adalah kekuasaan Islam ala kelompok Taliban di Afghanistan. “Jadi konstitusi yang mendukung negara Islam atau kekhilafahan yang dia inginkan,” ujarnya.***
Editor: denkur