Alkisah, ada seorang laki-laki bernama Muhammad Ibnu Hamir yang siang rajin berpuasa dan malam beribadah qiyamul lail. Suatu saat ia pergi berburu hewan, namun di tengah perjalanan ada ular yang menghadangnya.
Lalu terjadilah dialog di antara keduanya.
Si Ular: “Hai Muhammad, tolong selamatkan diriku.”
Ibnu Hamir: “Dari siapa?”
Si Ular: “Dari musuhku. Dia berbuat jahat kepadaku.”
Ibnu Hamir: “Musuhmu siapa?”
Si Ular: “Musuhku ada di belakangku.”
Ibnu Hamir: “Kamu dari golongan umat siapa?”
Ular: “Dari umat Muhammad saw.”
Seketika itu Ibnu Hamir membuka selendangnya dan berkata: “Masuk selendang sini aja.”
Si Ular: “Kalau aku di dalam selendang, musuhku akan tahu.”
Ibnu Hamir: “Lalu apa yang harus aku lakukan?”
Si Ular: “Jika kamu sudi berbuat baik kepadaku, bukalah mulutmu hingga aku masuk ke sana.”
Ibnu Hamir: “Aku khawatir kamu akan membunuhku.”
Si Ular: “Tidak, demi Allah. Tak mungkin aku tega membunuhmu.”
Kemudian Ibnu Hamir perlahan membuka mulutnya dan Si Ular pun segera masuk ke dalam tubuhnya.
Setelah Ibnu Hamir meneruskan perjalanan, ia berpapasan dengan orang yang membawa parang yang ternyata adalah musuh di ular.
Si Musuh: “Hai Muhammad!”
Ibnu Hamir: “Ada yang bisa ku bantu?”
Si Musuh: “Apakah kau bertemu dengan musuhku?”
Ibnu Hamir: “Musuhmu siapa?”
Si Musuh: “Musuhku seekor ular.”
Ibnu Hamir: “Maaf aku tidak tahu.”
Demikian ucap Ibnu Hamir menutup-nutupi sembari mengucapkan istighfar 100 kali, karena sebenarnya ia mengetahui di mana Si Ular bersembunyi.
Perlahan Ibnu Hamir melangkahkan kaki meneruskan perjalanan. Setelah cukup jauh Si Ular pun mengeluarkan kepalanya.
Si Ular: “Sudahkah musuhku pergi dari sini?”
Ibnu Hamir: “Ku lihat kiri kanan, tiada siapapun. Jika ingin keluar silahkan.”
Si Ular: “Hai Muhammad, ada dua opsi untukmu. (1) Kau pilih aku hancurkan limpamu dari dalam; atau (2) aku lubangi hatimu ini dan ku biarkan dirimu tanpa ruh!”
Ibnu Hamir: “Subhanallah … Lho di mana janji yang telah kau ucapkan?” Apakah kau lupa dengan sumpahmu? Kok cepat banget kamu melupakannya?”
Si Ular: “Mengapa kamu lupa permusuhanku dengan moyangmu, Nabi Adam, dimana aku membuatnya keluar dari surga. Salahmu sendiri, atas dasar apa kau lakukan kebaikan kepada makhluk yang tak sepantasnya diperlakukan secara baik?”
Ibnu Hamir tak menyangka jawaban keji dari ular yang telah ditolongnya sampai-sampai terpaksa berbohong pula.
Ibnu Hamir: “Kau yakin akan membunuhku?”
Si Ular: “Iya, pasti.”
Ibnu Hamir: “Kalau gitu, tunggu sebentar hingga aku naik ke gunung untuk menyiapkan diri.”
Si Ular: “Silahkan berbuat semaumu.”
Lalu Muhammad bin Hamir pun naik ke atas gunung di tengah keputusasaan, tak ada harapan lagi untuk hidup di dunia.
Sesampai di puncak, Ibnu Hamir menatap arah langit sembari berdoa:
يَا لَطِيفُ، يَا لَطِيفُ، اُلْطُفْ بِي بِلُطْفِكَ الْخَفِيِّ. يَا لَطِيفُ، بِالْقُدْرَةِ الَّتِي اسْتَوَيْتَ بِهَا عَلَى الْعَرْشِ، فَلَمْ يَعْلَم الْعَرْشُ أَيْنَ مُسْتَقِرُّكَ إِلَّا مَا كَفَيْتَنِيْ هَذِهِ الْحَيَّةَ
Artinya, “Wahai Allah Dzat Yang Mahalembut, wahai Allah Dzat Yang Mahalembut, berlaku lembutlah kepadaku dengan kelembutan-Mu yang samar. Wahai Allah Dzat Yang Mahalembut, dengan kekuasan-Mu yang denganya Engkau menguasai Arsy’, lalu Arsy pun tidak mengetahui di mana kekuasan-Mu, kecuali tidak Engkau lindungi diriku dari kejahatan ular ini.”
Ibnu Hamir kemudian melanjutkan jalannya. Tak disangka, seketika itu ada sosok lelaki rupawan, berbau harum wangi, dan sangat bersih, yang menghampirinya.
Si Rupawan: “Salamun ‘alaika, hai Muhammad. Kenapa kau kelihatan sedih? Ada apa gerangan?”
Ibnu Hamir: “Wa’alaikassalam, hai sudaraku. Musuhku telah berbuat jahat kepadaku.”
Si Rupawan: “Musuhmu di mana?”
Ibnu Hamir: “Di dalam perutku.”
Sejurus kemudian Si Rupawan itu memberikan suatu daun hijau seperti daun Zaitun kepada Ibnu Hamir, sambil berkata: “Hai Muhammad, kunyahlah daun ini. Setelah itu kau telan.”
Tak terduga, seketika Ibnu Hamir mengunyah dan menelannya, Si Ular berputar-putar di dalam perutnya dan keluar berkeping-keping dari arah bawah atau duburnya.
Menyaksikan keajaiban itu, Ibnu Hamir memegang baju Si Rupawan dan bertanya: “Siapa sebenarnya dirimu, dimana Allah telah menyelamatkanku dengan perantara dirimu?”
“Apakah kamu belum kenal diriku, hai Muhammad?”, kata Si Rupawan setelah sebelumnya tertawa karena ketidaktahuan Ibnu Hamir.
Ibnu Hamir: “Belum.”
Si Rupawan: “Mengertilah wahai Muhammad bin Hamir! Saat kau dianiaya oleh Si Ular dan kau berdoa dengan doa tadi, para malaikat di langit mengadu kepada Allah swt dan Allah pun segera mengutus diriku datang menolongmu. Aku adalah malaikat Ma’ruf yang tinggal di langit keempat.
Dikatakan kepadaku: ‘Pergilah ke Surga, ambil daun berwarna hijau, dan segera berikan kepada hamba-Ku, Muhammad bin Hamir.’ Karena itu, wahai Muhammad, tetaplah berbuat baik kepada orang lain. Karena perbuatan baik itu akan menjaga pelakunya dari keburukan. Meskipun orang yang dibaiki—atau diperlakukan secara baik—tidak memedulikannya, namun di sisi Allah kebaikan tidak akan pernah akan tersia-sia.”
Demikian kisah ini disampaikan oleh Syekh Ahmad bin Hijazi al-Fasyani. Kisah ini secara persis dapat disimak dalam kitabnya al-Majalisus Saniyyah. (Ahmad bin Hijazi al-Fasyani, al-Majalisus Saniyah fil Kalam ‘alal Arba’in An-Nawawiyah, [Semarang, Maktabah al-‘Alawiyah], halaman 40).
Kisah tersebut mengilhami kepada kita, kebaikan kita kepada orang lain tidak akan pernah sia-sia. Walaupun orang yang diberi kebaikan tidak membalas, atau bahkan ia tidak mengakuinya, namun sudah menjadi sunnatullah, kebaikan pasti akan dibalas oleh Allah swt. Kebaikan tidak akan pernah sia-sia. Bahkan kebaikan akan menyelamatkan kita dari arah yang tidak terduga.
Artikel ini sebelumnya sudah ditayangkan NUOnline dengan judul: Kisah Inspiratif Ular vs Manusia: Kebaikan Takkan Pernah Sia-sia yang ditulis oleh Ustadz Bisri Mahfudh, Alumni Pondok Pesantren API Tegalrejo.
Editor: denkur