Ternyata memang ruang amannya tidak ada. Masih banyak teman-teman perempuan yang merasa terancam.
DARA | Kebebasan dan ketersediaan ruang aman dalam berkesenian menjadi salah satu isu yang didorong para seniman-seniman perempuan dalam webinar yang digelar Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat bersama Rumpun Indonesia, tanggal 16-18 Desember 2022.
Webinar tersebut digelar dalam rangka memperingati Hari Hak Asasi Manusia Sedunia 2022 yang mengusung tema “Berkebudayaan, Berkemanusiaan”.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat bersama Rumpun Indonesia menggelar rangkaian webinar dengan tema “Berekspresi dan berpartisipasi dalam kegiatan kebudayaan adalah hak setiap anggota masyarakat” pada Jumat 16 Desember 2022 hingga Minggu 18 Desember 2022.
Narasumber yang hadir dalam webinar tersebut yakni Ratri Ninditya dari Koalisi Seni dan Hera Mary dari Hungry Heart Project.
Dalam paparannya Hera yang berkiprah di komunitas underground ini mengungkapkan kegelisahannya atas ketimpangan hak asasi yang terjadi di skena Punk dan Hardcore.
“Saya selama terlibat di komunitas ini setiap ke manapun saya pergi Bersama band atau sekadar jalan-jalan ke acara musik underground, ternyata kehadiran teman-teman perempuan ini sedikit. Bisa dihitung jari. Saya bertanya-tanya apa yang terjadi. Apakah mereka tidak tertarik sama komunitasnya atau mereka tidak aman datang ke acara musik itu,” ujarnya, Minggu (18/12/2022).
Hera kemudian membuat film documenter yang berjudul Ini Scene Kami Juga yang menjadi bukti bahwa belum ada ruang aman bagi perempuan di skena music tersebut.
“Ternyata memang ruang amannya tidak ada. Masih banyak teman-teman perempuan yang merasa terancam. Dalam show apapun kita berhak mendapat ruang dan perasaan aman dan nyaman dengan teman laki-laki. Nah itu yang tidak kita dapat. Dalam film itu membuktikan tidak hanya satu atau dua orang yang menyatakan bahwa ruang ini tidak aman,” tutur Hera.
Sejalan dengan Hera, Ratri menyampaikan bahwa di Koalisi Seni sejak tahun 2020 mencoba memperkenalkan Kembali sebuah perspektif baru untuk melihat isu hak asasi manusia yang dikaitkan dengan pegiat seni.
Menurutnya, masih banyak ketimpangan dan ketidakadilan para pekerja seni terutama perempuan di Indonesia.
“Ada enam aspek hak yakni hak untuk berkarya tanpa sensor dan intimidasi. Hak untuk mendapatkan dukungan, jalur distribusi balas jasa atas karya. Hak atas kebebasan berserikat. Hak atas perlindungan hak sosial dan ekonomi. Hak atas kebebasan berpindah tempat dan hak untuk ikut serta dalam kehidupan kebudayaan,” kata Ratri.
Kemudian lanjut Ratri, berbicara terkait pekerja perempuan pihaknya menemukan beberapa masalah utama. Di antaranya banyak yang mengalami kekerasan, kemudian soal finansial, dan lainnya.
“Selain kekerasan banyak sekali teman-teman perempuan ini yang mendapatkan kontrak tidak tertulis. Juga mereka tidak bisa mengambil keputusan dalam organisasi,” ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, baik Hera maupun Ratri bersepakat untuk bersama-sama memperjuangkan hak-hak pekerja seni di komunitasnya masing-masing. Dimulai dari lingkungan terdekatnya,
Hera mengatakan, di komunitasnya dibiasakan untuk saling memberi edukasi, saling menegur jika ada yang melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan apa yang mereka sepakati.
“Strateginya kita harus bersepakat untuk sesuatu yang tidak kita setujui. Contohnya dalam komunitas kami, perempuan berhak mendapat ruang aman dalam bersuara, bermusik, apapun. Mau joget, mau moshing, kita semua berhak dan setuju atas hal itu. Kalau ada yang keluar Batasan, harus ditegur. Memang memulainya sulit sekali, karena banyak teman-teman juga yang menormalisasi perilaku yang keluar batas itu,” tuturnya.
Sementara itu Ratri mengungkapkan dalam komunitasnya pihaknya membuat kode etik atau norma yang disepakati bersama.
“Kami memulai dari lingkup koalisi seni itu sendiri. Ada kode etik atau standar prosedur yang menyatakan bahwa koalisi seni tidak mentoleransi kekerasan seksual terhadap gender apapun. Dan ada beberapa klausa yang jelas tertera hukumannya,” ujar Ratri.
Sementara itu, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat Febiyani dalam pembukaan webinar tersebut mengatakan, bahwa perlu dibahas para pelaku atau komunitas seni agar dapat berekspresi dengan rasa aman.
Perlu didiskusikan bersama sehingga bisa menjadi masukan kepada pemerintah agar dapat meningkatkan kemajuan kebudayaan yang dikatikan dengan berbagai aspek kehidupan bermasyarakat.
“Aman di sini juga perlu kita turunkan kembali nilai-nilai yang berlaku di Jawa Barat khususnya. Bagaimana nilai-nilai yang sudah ada di masyarakat ini bisa dimanfaatkan bukan menjadi penghalang bagi kebebasan berekspresi. Saya pikir kebudayaan menjadi media strategis yang bisa kita gunakan dalam menyuarakan berbagai hal termasuk hak asasi manusia,” ujar Febi.
Editor: denkur