Selama bertahun-tahun, petambak garam di Cirebon menghadapi dilema serupa.
DARA | Panen raya garam yang biasanya dinanti dengan penuh harapan kini justru menjadi momen kelam bagi petambak garam di Desa Rawaurip, Kecamatan Pangeran, Kabupaten Cirebon.
Meski cuaca panas yang puncaknya terjadi dari Agustus hingga September membawa hasil panen melimpah, petambak harus menghadapi kenyataan pahit: harga garam yang terus merosot akibat permainan tengkulak.
Selama bertahun-tahun, petambak garam di Cirebon menghadapi dilema serupa. Meski harga garam sempat menyentuh Rp800 per kilo sebelum panen, kini harga garam anjlok drastis menjadi Rp400 per kilo, bahkan bisa turun lebih jauh lagi.
Ismail Marzuki, seorang petambak setempat, mengungkapkan kekecewaannya.
“Harga garam terus turun. Sekarang bahkan kabarnya akan turun lagi dari Rp 400 per kilo,” keluhnya.
Petambak terjebak dalam lingkaran ketergantungan dengan tengkulak yang mengontrol harga. Mereka harus menjual garam kepada tengkulak karena sudah terikat kontrak, meskipun harga sering kali merosot drastis ketika panen raya.
“Kami tidak punya pilihan lain. Tengkulak yang menentukan harga, dan saat panen banyak, harga langsung turun,” kata Sulaeman, petambak garam lainnya.
Situasi ini semakin diperburuk dengan biaya tambahan, seperti upah kuli panggul atau pocok, yang harus dikeluarkan oleh petambak. Biaya ini mengurangi keuntungan petambak dan membuat kondisi mereka semakin sulit.
Kurangnya perhatian pemerintah terhadap industri garam lokal juga menjadi masalah utama. Meskipun Cirebon adalah salah satu penghasil garam terbesar di Indonesia, belum ada penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk garam, yang memungkinkan tengkulak mengatur harga sesuai keinginan mereka.
Dengan luas lahan garam mencapai 1.557,75 hektare, petambak garam di Cirebon masih bergulat dengan harga yang tidak mencerminkan kualitas dan kuantitas panen mereka.
“Kami berharap ada solusi nyata dari pemerintah agar kami bisa mendapatkan harga yang adil dan hidup lebih layak,” harap Ismail.
Krisis harga garam ini menyoroti kebutuhan mendesak untuk regulasi yang lebih baik dan dukungan pemerintah agar petambak garam tidak terus-menerus menjadi korban permainan harga oleh tengkulak.***
Editor: denkur