DARA | Di antara beberapa buku yang dicetak dalam memeriahkan Hari Pers Nasional (HPN) Sumut 2023, terdapat antologi puisi Tiba-Tiba Sunyi serta kumpulan cerita pendek Menembus Pintu Langit, semua merupakan karya para wartawan dari berbagai media.
“Banyak wartawan yang juga penulis puisi dan cerita pendek. Karya mereka enak dibaca, seperti juga karya yang dibukukan pada HPN HPN sebelumnya,” kata koordinator tim buku HPN 2023, Ismet Rauf, Sabtu (4/2/2023).
Ia menyebutkan, kedua buku karya seni sastera itu serta beberapa buku lainnya, akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo serta beberapa pihak pada acara puncak HPN 2023 di Medan, Kamis (9/2/23).
Buku lain yang dicetak, jelas Ismet Rauf, di antaranya, Anugerah Jurnalistik Adinegoro, Siwo Jaya, Kejayaan Dalam Kebersamaan, Pengelolaan Program Uji Kompetensi (UKW) PWI Meningkatkan Standar Kompetensi Wartawan Indonesia karya Dr. H. Firdaus Komar, S.Pd, M.Si,, Usmar Ismail – Dari Wartawan ke Pahlawan Nasional oleh Wina Armada Sukardi, Peranan Pers Dalam Meningkatkan Pariwisata di Sumatera Utara oleh Idris Pasaribu, Poek – Refleksi Pemikiran Tentang Interaksi Sosial, Jurnalisme dan Politik – Catatan Syamsuddin Haesy.
Editor Tiba-Tiba Sunyi, A.R. Loebis, menyebutkan, dari tahun ke tahun, wartawan penulis puisi alias penyair wartawan, semakin banyak mengirimkan karya mereka untuk diterbitkan dalam antologi puisi HPN.
“Antologi puisi wartawan pertama kali diterbitkan pada 2017 ketika acara itu diadakan di Maluku. Judul antologinya Sajak Kepada Presiden & Presiden Bebek, diisi puisi dari enam wartawan,” kata Loebis.
Pada HPN Padang 2018, judul antologinya Wajah Tua Menikam Malam dengan 13 penulis, pada HPN 2019 dengan judul Negeri yang Tercabik dengan lima penulis. Pada? HPN 2020 Menatap Tubuhmu di Belukar Bakau ada 121 puisi dari 10 wartawan dan pada HPN 2022 Pintu Langit ada sebanyak 121 puisi dari 18 penulis.
Pada HPN Sumut 2023, lanjut Loebis, para penulis sastera dalam bentuk puisi itu adalah Akhmad Zailani, Asep Budi Heryanto, Amir Machmud, A.R. Loebis, Bachtiar Adamy, Djoko Tetuko, Djunaedi Tjunti Agus, Hendro Basuki, Gusfen Khairul, Hadi Effendi, Hendry Ch Bangun, Ki Agus N Fattah, Rosyid E. Abby, Rita Sri Hastuti, Maria D. Adriana, Syarifuddin Arifin, Sopandi, Syam Irfandi, Temu Sutrisno, Teuku Maimun Umar, Zul Ali Marbun.
Tahun ini rekor dengan 21 penulis, terkumpul sebanyak 137 judul puisi.
“Karena tema antologi kali ini bebas, maka karya yang masuk amat majemuk, tapi sebenarnya semuanya merupakan ekspresi diri yang berasal dari renungan natural dan batin, jadi bersifat simbolik dari pergulatan konflik eksternal dan internal, yang terjadi dalam diri manusia dalam keseharian,” ujar Loebis.
“Antologi puisi HPN Sumut 2023 terasa bermakna dan memiliki arti. Ada yang berbicara di balik kata (beyond the words), sehingga butuh perenungan untuk menghayatinya, namun ada juga yang sekedar menuliskan kata atau kalimat seperti sedang berorasi atau menceritakan hasil pandang atau pun seperti sedang memanjatkan doa,” tambahnya.
Sementara editor kumpulan cerita pendek Membuka Pintu Langit, Djunaedi Tjunti Agus, mengatakan, ada 45 judul cerita pendek yang terangkum dalam buku Cerpen HPN 2023.
Para penyumbang naskah cerita pendek itu adalah, Hendry Ch Bangun, Maria D. Andriana, Fakhrunnas MA Jabbar, Hendro Martono, Djoko Tetuko, Abdul Latif, A.R. Loebis, Adhi Wargono, Ismet Rauf dan Djunaedi TA.
Djunaedi menjelaskan, para penulis Cerpen dalam Membuka Pintu Langit, umumnya piawai dalam memainkan cerita, apakah itu terkait percintaan, kehidupan, bahkan misteri.
“Para penulis mampu menggabungkan misi yang mereka miliki, seperti mengajak, mengeritik, memberi contoh kepada pembaca. Apakah itu terkait dengan kehidupan sehari-hari, kehidupan bermasyarakat, bahkan dalam kehidupan beragama,” kata Djunaedi.
Namun, tambah Djunaedi, kendati Cerpen adalah fiksi, tapi tidak tertutup kemungkinan cerita yang ditampilkan adalah fakta, seperti terdapat pada beberapa judul, bahkan ada yang menggunakan namanya sendiri sebagai tokoh utama.
“Bisa jadi di antara Cerpen lain juga berlatarbelakang fakta dan belum tergambarkan sebagai fiksi. Apakah itu riil, Walahualam, Pembacalah yang akan menilainya,” kata Djunaedi.