DARA | BANDUNG – Masalah kesehtan mental atau mental health (MH) masih belum dianggap penting atau prioritas. Padahal satu dari empat orang memiliki masalah MH.
“Dan mungkin mereka itu adalah orang terdekat dengan kita,” kata dr Teddy Hidayat, Sp. KJ, yang hadir sebagai nara sumber pada Pelatihan Mental Health First Aid (MHFA), di Gedung Sate Bandung, Sabtu (24/8/2019).
Menurut dia, pemahaman dan pemgetahun yang kurang tentang MH menyebabkan banyak masyarakat tidak tahu yang harus mereka perbuat. “Survei WHO di 28 negara menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil gangguan MH yang mencari dan mendapatkan bantuan; sampai mendpatkan bantuan umunya menunda selama 1-14 tahun untuk gangguan susana hati dan 3-30 tahun untuk gangguan cemas.”
Padahal, lanjut dia, semakin lambat mendapt pertolongan, semakin buruk prognosanya. “Alasan mereka menunda mendapatkan bantuan, antara lain karena tingginya stigma terhadap gangguan jiwa di masyarakat, faktor ketidaktahuan untuk mencari bantuan ke fasilitas kesehatan jiwa.”
Ia menyebutkan, lebih kurang 40 persen kelompok usi 18-25 tahun selama dua hingga empat tahun berada dalam lingkungan perguruan tinggi, dan sebagian besar gangguan MH mulai terlihat sebelum usia ini. “Sehingga, perguruan tinggi merupakan tempat ideal untuk mengidentifikasi adanya gangguan masalah MH.”
Menurut dia, sekitar 78 persen mahasiswa selama menjalani studi mengalami masalah MH dan 40 persen menimbulkan penderitaan juga mengganggu prestasi akademisnya. “Dan 33,2 persen serius memikirkan tindakan bunuh diri.”
Bunuh diri dari tiga mahasiswa selama tiga bulan di sebuah perguruan tinggi adalamh puncak gunung es dari permasalahan MH di lingkungan pendidikan tersebut. Di satu sisi masalah MH mahasiswa di perguruan tinggi itu besar dan penting, sebagai calon penerus pemimpin bangsa.
“Tapi, di sisi lain MH pada mahasiswa tidak terdeteksi, tidak terobati, menjadi kronis, meningkatkan angka kesakitan, dan kematian (termasuk bunuh diri dan krisis mental, prestasi akademis rendah, darn drop out. Kerugian terbesar adalah kehilangan investasi yang ada dan kehilangan hari-hari produktif,” ujar Teddy.
Ia menegaskan, tujuan akhir MHFA adalah healthy university, yakni jiwa yang memberi perhatian dan merespon masalah kesehatan jiwa lingkungannya dengan karaterisktik well being dan happiness. “Healthy university yang menjadi sasaran antara untuk sampai pada class world university.”
Menurut dia juga, upaya yang dianggap realistik dan dapat dikembangkan adalah pelatihan MHFA. Pelatihan singkat 8 jam atau 16 jam, bukan dirancang menjadi terapis melainkan memberi peserta keterampilan mengenal dan membantu seseorang dengan gangguan mental-emosional.
“MHFA juga terbukti efektif mengurangi stigma dan dan dikriminasi terhadap gangguan jiwa, yaitu melalui peingkatan pengtahuan dan pemahaman tentang gangguan jiwa,” katanya.***
Editor: Ayi Kusmawan