Corona bukan soal angka dan jumlah korban yang terinfeksi. Tapi corona adalah soal kesabaran, empati, toleransi dan kejujuran. Corona juga menumbuhkan ketidakpastian dan kebohongan informasi atau hoaks.
DARA- BANDUNG- Ingar bingar Pemilihan kepala Daerah alias Pilkada, antara lanjut atau ditunda, sempat menyeruak belakangan ini. Namun, akhirnya Pilkada tetap digelar meski tentu harus dengan pengetatan protokol kesehatan.
Covid-19 memang sangat ngaruh kepada segala sendi kehidupan, termasuk terhadap Pilkada ini. Ada yang mengkhawatirkan Pilkada akan memunculkan klaster baru, sehingga wabah corona terus menjalar. Namun, tampaknya tak ada jalan lain, Pilkada harus terus berjalan dan berharap semoga berlangsung aman dan lancar, lebih utama lagi ‘ya itu tadi tidak kemudian memunculkan klaster baru penyebaran covid-19.
Tahapan demi tahapan sudah dilalui, dan kini sudah sampai pada tahapan debat publik pasangan calon. Setelah itu terus bergulir, termasuk masa kampanye. Hanya, sudah dipastikan masa kampanye pilkada kali ini akan dilakukan melalui daring atau virtual. Masyarakat belum tahu seperti apa kampanye virtual.
Mencari pemimpin daerah memang tak kalah serunya dengan pemilihan presiden. Suasana politiknya sangat dinamis. Bahkan, tak urung memunculkan riak-riak perhelatan demokrasi yang panas.
Para pasangan calon harus kerja keras melakukan langkah-langkah untuk meraih simpatik rakyat. Berbagai strategi dilakukan, mulai dari melancarkan program-program sosial dadakan hingga gelar pertemuan-pertemuan baik terbuka maupun tertutup. Blusukan pun tak urung dilakukan, meski terkadang hanya disambut senyuman masyarakat yang dikunjungi.
Apa boleh buat, Pilkada memang harus mengubah prilaku orang yang maju jurit menjadi calon. Tadinya tak pernah datang mengunjungi warga, sekarang harus kesana. Awalnya tak murah senyum jika disapa, sekarang harus ramah ke setiap orang.
Lalu, bagaimana rakyat milih pemimpinnya? Tentu tak ada prasyarat mutlak yang dipegang rakyat, sebab baginya siapa saja silahkan jadi pemimpin, yang penting sosok yang benar-benar mau memperjuangkan nasibnya. Begitulah argumen klasik yang dimiliki rakyat hingga sekarang.
Perbaikan nasib yang dimaksud rakyat tentu saja terkait dengan ekonomi atau kesejahteraan. Namun, tak satupun pasangan calon yang bisa menjamin jika mereka terpilih kesejahteraan rakyat akan benar-benar tercapai.
Banyak indikator yang jadi syarat peningkatan ekonomi, dan itu tidak mudah. Pasalnya, sebagai bupati atau walikota, tentu upaya perbaikan ekonomi atau peningkatan kesejahteraan rakyat harus melalui proses baku prosedur pemerintahan. Tidak begitu saja diberikan, seperti orangtua memberi uang kepada anaknya.
Tapi paling tidak, bupati atau walikota terpilih mampu memprioritaskan program-programnya yang mengarah kepada perbaikan ekonomi rakyat tadi. Seperti apa bentuknya?
Pemerintah pusat sudah menggulirkan berbagai program seperti itu, sehingga ini kesempetan bagus bagi para pemimpin daerah terpilih untuk larut dalam program itu dengan segala kesungguhannya untuk memperjuangkan rakyat.
Segala hal yang terjadi selama pandemi, seperti perubahan kebijakan hingga berbagi informasi tak terelakan.
“Sekarang sebenarnya kita sudah mulai masuk pada tahap resiliensi. Kita sudah mulai berpikir, merencanakan, lalu bertindak, step by step untuk resiliensi untuk menghadapi what’s the next?” ujar psikolog Ratih Ibrahim, seperti dikutip meiaindonesia.
“Kita sudah beradaptasi. Jadi kita menemukan new normal. Oh ternyata work from home, kita harus menyesuaikan diri bekerja dari rumah,” imbuhnya.
Ratih menjelaskan setidaknya ada tiga tahapan perubahan perilaku masyarakat selama pandemi. Tahap pertama, social panic/kepanikan sosial di mana awalnya masyarakat tidak paham tentang covid-19. Kemudian, masyarakat dikejutkan penyebaran virus yang masif dalam waktu singkat.
“Ketika kasus covid-19 muncul, karena masyarakat tidak mengerti, cuek saja. Lalu pemerintah juga seolah-olah menganggap enteng karena ini benar-benar virus baru. Tapi kemudian ternyata penyebarannya sangat masif, orang kaget,” pungkas Ratih.
Melawan Lupa
Corona bukan soal angka dan jumlah korban yang terinfeksi. Tapi corona adalah soal kesabaran, empati, toleransi dan kejujuran. Corona juga menumbuhkan ketidakpastian dan kebohongan informasi atau hoaks.
Lalu apa yang Anda pikirankan dari data tersebut? Pertanyaan itu saya luncurkan di wahatsApp grup para kolega.
Seorang kolega langsung menjawab dengan mengirmi pesan bergambar. Ia menulis pesan “Harap Tenang!!, Ujian Nasional Ditiadakan. Ujian Hidup Sedang Berlangsung!!” Tak menunggu lama, para sahabat pun menyambar pesan bergambar itu.
Beragam pandangan berseliweran di media sosial yang tergenggam di tangan kita. Ada yang menyejukan, menguatkan kesabaran, tapi tak sedikit yang malah mengirim pesan hoaks.
Menyikapi perbincangan di dunia maya itu, saya berani berpendapat, bahwa corona bukan sekadar angka dan jumlah. Bukan juga soal langkah pemerintah menghentikan pandemi ini.
Corona adalah soal kesabaran, empati, toleransi dan kejujuran. Corona juga menumbuhkan ketidakpastian dan kebohongan informasi atau hoaks.
Betul, kata kolega saya tadi, bahwa corona adalah ujian hidup ditengah kegamangan, kecemasan dan kehampaan spiritual. Keinginan nongkrong bersama di kedai kopi dengan bumbu obrolan politik, riak sosial, dan ekonomi sepertinya harus jeda sesaat.
Eli Lebowitz, Direktur Program Gangguan Kecemasan di Yale Child Study Center mengatakan, kebijakan pemerintah menerapkan pembatasan sosial beresiko menjadi faktor untuk munculnya kecemasan dan depresi.
Hal senada disampaikan oleh profesor epidemiologi Universitas Yale, Kaveh Khoshnood. Di mana, dia mengatakan jarak sosial, serta perasaan panik, akan memiliki konsekuensi kesehatan mental. Ancaman lain mengubah respons psikologis kita terhadap interaksi biasa, membuat kita berperilaku dengan cara yang tidak terduga.
Lalu apa yang harus kita lakukan ditengah kecemasan ini? Kolega saya yang lain mengrim catatannya yang tayang di media oniline ini.
Dalam tulisannya,ia menekankan petingnya Optimisme dan harapan. Keduanya, menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Optimisme ada karena ada harapan. Harapan, menumbuhkan optimisme. Setidaknya begitulah hubungan antara keduanya.
Editor : Maji