Pantun salah satu bentuk sastra yang populer di antara tradisi lisan masyarakat Melayu, termasuk di Indonesia. Dikutip dari Buku Pintar Pantun dan Peribahasa Indonesia (2015) karya Mutia Dwi Pangesti dan Desi Permatasari, pantun berasal dari bahasa Minangkabau: patuntun yang berarti petuntun.
Dalam bahasa Jawa, pantun dikenal dengan nama parikan. Dalam bahasa Sunda disebut paparikan. Sedangkan dalam bahasa Batak dinamakan umpasa (baca: uppasa).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pantun adalah bentuk puisi Indonesia (Melayu), tiap bait (kuplet) biasanya terdiri atas empat baris yang bersajak (a-b-a-b). Tiap larik biasanya terdiri atas empat kata, baris pertama dan baris kedua biasanya untuk tumpuan (sampiran) saja dan baris ketiga dan keempat merupakan isi. Pantun juga bisa disebut bahasa sindiran menurut KBBI.
Pantun bernilai seni dan penuh pesan moral didalamnya. Pantun tidak hanya memiliki unsur-unsur teoritis seperti bentuk, fungsi, karakteristik, dan struktur saja, namun juga didukung oleh sisipan nilai sosial budaya sebagai ciri khas kebahasaan dan kehidupan masyarakat yang tercermin melalui kata, tanda, lambang, atau simbol tertentu.
Mengungkapkan berbagai hal secara tidak langsung agar makna yang ingin disampaikan tetap sopan dan santun merupakan bagian dari penggunaan pantun dalam kehidupan sosial.
Sebagai warisan budaya, pantun biasanya dikemas secara apik, sehingga bisa digunakan baik untuk acara formal maupun informal. Namun, perlu digaris bawahi, baik pantun lisan maupun tulisan sama-sama mengandung unsur kebahasaan. Bahasa, menurut seorang filsuf Jerman, Jurgen Habermas, adalah manifestasi kebutuhan manusia untuk berkomunikasi. Bahasa mewujudkan kepentingan praktis, yakni komunikasi dengan orang lain dalam kehidupan bersama.
Bahasa juga menjadi media yang ampuh untuk menanamkan ideologi. Dengan kata lain bahasa adalah piranti atau alat yang dimanfaatkan untuk meraih simpati, menarik perhatian, membuat persepsi terhadap suatu masalah, mengendalikan pikiran dan perilaku seseorang.
Di ranah politik, misalnya seperti perhelatan Pilkada Kabupaten Bandung 2020, dari tiga pasangan calon bupati dan wakil bupati Bandung, ada satu calon bupati Bandung yang justru menggunakan pantun sebagai media ajakan kepada pemilih. Ia adalah Kurnia Agustina Naser atau akrab disapa Teh Nia.
Jauh sebelum maju menjadi calon bupati Bandung 2020, Teh Nia memang sudah gemar bermain pantun. Kebanyakan pantun yang ia gunakan biasanya berjenis pantun ajakan. Maka tak heran jika pantun dijadikan sebagai media pendekatan Teh Nia dalam sosialisasi maupun kampanye politik.
Baru-baru ini, tepatnya pada Kamis 24 September 2020, seusai pengundian nomor urut pasangan calon di Hotel Sutan Raja, Soreang, Teh Nia kembali bermain pantun saat diwawancarai awak media. Pantun yang ia lontarkan yaitu “Ikan Hiu Beli Sepatu, Ayo Semua Coblos Nomor Satu”. Dan kebetulan saja memang Teh Nia yang berpasangan dengan Usman Sayogi itu mendapat nomor urut 1.
Entah pantun itu sudah disiapkan sebelumnya atau memang spontan diucap oleh Teh Nia. Namun yang jelas, kata-kata pilihan di dalam pantun Teh Nia itu menarik untuk dikaji. Di bait pertama dalam pantun Teh Nia menyebut dua objek benda. Pertama yakni ikan hiu, dan yang kedua adalah sepatu.
Ini hanya interpretasi saja. Jika Teh Nia menyebut secara spontan dua benda objek itu di dalam pantunnya, maka memang cocok dijadikan untuk rima dan iramanya, karena selaras dengan pilihan kata di bait isi yang berupa ajakan.
Namun jika pilihan kata untuk pantun sudah disiapkan atau dipikirkan sebelumnya, maka kerangka berpikir si pencipta pantun, dalam hal ini Teh Nia, patut diacungi jempol. Teh Nia boleh jadi dikatakan adalah seorang pemikir. Terlepas dari mahirnya ia beretorika dengan memainkan bahasa, karena memang latar belakangnya sebagai seseorang lulusan sastra Perancis, namun dengan media pantun ia sedang berfilsafat.
Pilihan kata ikan hiu dan sepatu dalam bait pertama pantun itu cukup menggelitik pemikiran. Jika yang mendengar pantun itu adalah seorang pemikir, tentu orang itu akan terusik pikirannya. Sebab jika ditelaah secara filosofis, kedua objek benda yang dipilih di dalam pantunnya itu cukup memiliki makna mendalam.
Mengenai ikan hiu, sebagai contoh, di Jepang, nelayan penangkap ikan salmon membuat kolam buatan di dalam kapalnya untuk digunakan penampungan sementara sebelum ikan-ikan salmon hasil tangkapan dikirim ke daratan. Hal ini bertujuan agar ikan salmon tetap segar sebelum diolah sebagai sushi.
Namun ternyata banyak nelayan yang kebingungan, sebab ikan salmon yang ditangkap selalu mati di kolam buatan sebelum akhirnya sampai ke daratan akibat stres. Suatu waktu, tanpa disengaja ada seorang nelayan yang memasukkan ikan hiu ukuran kecil di dalam kolam buatan digabung dengan ikan salmon.
Ajaibnya, keberadaan ikan hiu itu justru membuat ikan-ikan salmon bertahan hidup. Kemudian riset kecil-kecilan dilakukan. Hasilnya ternyata, ikan hiu cukup memiliki peran penting agar ikan salmon tetap hidup. Ikan salmon yang ditangkap nelayan dan dimasukkan ke dalam kolam buatan yang diisi sejumlah ikan hiu ternyata terus bergerak. Gerakan tersebut murni sebuah naluri agar ikan salmon tak dimangsa ikan hiu.
Karena pada dasarnya, meski berukuran kecil, ikan hiu berada di puncak teratas skema rantai makanan biota laut. Dengan begitu, jenis ikan lain akan takut mendekat kepada ikan hiu karena khawatir akan dimangsa. Hal itulah yang membuat ikan salmon terus bergerak, berjuang dan berupaya agar tak dimangsa ikan hiu. Dan ternyata, perjuangan ikan salmon menghindar dari ancamaan dan bahaya justru membuat ikan salmon bisa bertahan hidup.
Lambat laun, hasil penelitian ini dijadikan sebuah motivasi hidup sebagian masyarakat Jepang. Sebagian masyarakat Jepang mempercayai jika seseorang terlena di zona nyaman, maka sesorang itu tidak akan pernah mampu untuk berkembang dengan potensi yang dimilikinya. Maka dari itulah di sana muncul semboyan “diam membuat kita mati, bergerak membuat kita hidup”.
Dari contoh diatas saja, tentu bisa diberikan sebuah pandangan, dimana ada sebuah pesan yang terselip di dalam pantun itu. Bahwa ketakutan, rintangan, tantangan, bahkan bahaya sekalipun bisa menghadirkan semangat positif di diri seseorang. Ketakutan, rintangan, atau bahaya bukan untuk dihindari. Tetapi untuk dihadapi. Karena akan menajdikan seseorang semakin kuat dan potensi diri akan berkembang saat seseorang dihadapkan dengan sebuah masalah, bukan pada saat berada di dalam keadaan nyaman atau aman.
Apakah ikan hiu itu di dalam pantun diibaratkan sebagai permasalahan isu gender di dalam sebuah kepemimpinan suatu daerah? bisa jadi iya, bisa juga tidak. Yang jelas di Pilbup Bandung, isu gender menjadi isu lawanan yang awalnya terus digodok. Entah kenapa segelintir orang takut jika perempuan bisa menjadi pemimpin.
Salah satu argumentasi yang menyebabkan kaum perempuan sulit untuk menjadi pemimpin dalam dunia politik adalah adanya Q.S al-Nisa’ ayat 34. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa kaum laki-laki lebih tegak atas wanita. Sebab, Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena laki-laki telah memberikan nafkah dari hartanya.
Atas dasar ayat inilah menimbulkan doktrin bahwa perempuan tidak berhak untuk menjadi pemimpin, dan yang pantas atau layak untuk menjadi sosok pemimpin hanyalah dari kaum laki-laki. Sehingga, hal ini menyebabkan kaum perempuan kesulitan untuk mendapatkan posisi dalam dunia politik.
Mengenai ayat tersebut di atas, Gus Dur (Alm) sempat mengatakan bahwa, sebetulnya ayat itu dapat diartikan dua macam. Pertama, lelaki bertaggung jawab secara fisik atas keselamatan wanita. Kedua, lelaki lebih pantas menjadi pemimpin negara. Dan Gus Dur menambahkan, ternyata para pemimpin politik Islam lebih memilih pendapat yang kedua, terbukti dari ucapan mereka di muka umum.
Dari penafsiran tersebut, menunjukkan bahwa Gus Dur mengakui kalau laki-laki memiliki kekuatan fisik yang lebih daripada perempuan. Oleh sebab itu, laki-laki harus bertanggung jawab atas keselamatan fisik perempuan. Jadi, yang membedakan antara laki-laki dan perempuan hanyalah dari segi biologis. Sedang dalam segi psikologis, tidak ada perbedaan antara keduanya. Semuanya itu memiliki kekuatan yang sama secara psikologis.
Maka, jika masih ada orang yang menganggap bahwa perempuan lebih rendah (lemah) daripada laki-laki, sehingga menyebabkan kaum perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, itu menunjukkan bahwa mereka masih terbelenggu dengan budaya patriarki. Yaitu suatu budaya yang lebih mengedepankan atau mengistimewakan peran laki-laki di atas perempuan. Budaya ini menganggap bahwa kaum laki-laki memiliki keunggulan yang lebih dalam berbagai bidang dibanding perempuan. Budaya ini sudah melekat dalam paradigma masyarakat umum hingga saat ini.
Padahal, sejarah mencatat bahwa banyak pemimpin hebat di dunia yang tidak berasal dari kaum laki-laki. Kita pasti kenal yang namanya Cleopatra, Corie Aquino, Margareth Theacher, Benazir Butho, dan jauh lebih hebat lagi yaitu Ratu Balqis yang bisa membawa kemakmuran bagi negaranya sehingga hampir menandingi kerajaan Nabi Sulaiman AS. Kehebatan Ratu Balqis telah diabadikan di dalam al-Qur’an. (QS. al-An’am: 23-44).
Selain itu, kita pasti juga kenal dengan istri Rasulullah SAW, yaitu Siti Aisyah. Beliau adalah salah satu muslimat yang paling meriwayatkan Hadits Nabi. Tingkat kecerdasannya diakui oleh para sahabat. Sehingga, banyak dari para sahabat yang sering meminta pendapat beliau ketika hendak memecahkan permasalahan.
Bahkan, dikisahkan juga bahwa Aisyah merupakan tokoh yang menjadi pemimpin pada saat perang Jamal (perang unta). Yaitu, perang antara golongan Ali bin Abi Thalib dengan kelompok Aisyah. Begitu besarnya keberanian tokoh perempuan itu sehingga mampu memimpin kelompoknya saat perang tersebut.
Dari berbagai penjelasan di atas, setidaknya dapat memberikan pandangan baru bahwa perempuan bukanlah golongan lemah sebagaimana anggapan masyarakat umum. Akan tetapi, perempuan sama halnya dengan laki-laki dalam hal keberanian, kecerdasan, dan juga kepemimpinan. Bahkan bisa saja mereka melebihi laki-laki. Jadi, pantas dan sah-sah saja jika perempuan menjadi seorang pemimpin.
Jadi, kepemimpinan seorang pemimpin sangat menentukan baik buruknya suatu negara. Bukan suatu masalah jika negara dipegang oleh laki-laki maupun perempuan. Sebagaimana dikatakan oleh Aritoteles, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang jujur, cerdas, tegas, adil, bijaksana, serta takluk pada hukum.
Mengenai gender sendiri, ini hanyalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasikan perbedaaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial, budaya dan hukum (hak dan kewajiban) atau dari sudut non-biologis. Sebenarnya gender sebagai konstruksi sosial tidak perlu dipermasalahkan kalau itu tidak menimbulkan diskriminasi dan ketidakadilan terhadap salah satu jenis kelamin manusia.
Akan tetapi pada Kenyataan yang dibicarakan itu adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang menimbulkan ketimpangan peran gender. Dengan memberikan pembagian tugas yang baik dan seimbang, tidak mengabaikan hak lak-laki maupun perempuan, maka gender tidak menjadi permasalahan. Sebab peran perempuan dan laki-laki akan menguntungkan dan bermanfaat bagi keduanya.
Maka dari itu, perlu ada pemahaman yang harus digali lebih dalam mengenai isu gender melalui sudut pandang bagaimana perempuan dan pilkada dalam perspektif kesetaraan gender.
Sekali lagi, ini hanya sebuah interpretasi. Bisa saja pantun ini menjadi multi-interpretasi, tergantung siapa yang menalarkannya. Di sini yang perlu digaris bawahi yaitu hanya si penciptanya sendiri yang akan lebih mengetahui maksud dari pantun itu sendiri.
Sementara pemilihan kata ‘sepatu’ di dalam pantun juga cukup menarik untuk dikaji. Hingga saat ini, sudah ada banyak banyak sekali makna filosofi mengenai sepatu untuk kehidupan. Beberapa diantaranya seperti; sepasang sepatu bentuknya tidak sama persis namun saling melengkapi; sepasang sepatu selalu sederajat, tidak pernah ada yang lebih tinggi atau rendah; sepasang sepatu tidak pernah sejalan, tapi memiliki satu tujuan sama; atau bahkan, sepasang sepatu setia melindungi kaki.
Misal saja jika ditarik dalam konteks pencalonannya bersama Usman Sayogi. Pertama, di dalam pantun, interpretasinya bahwa ada sebuah makna yang ingin disampaikan, jika Teh Nia dan Kang Usman sendiri berangkat dari latar belakang yang berbeda. Dari berbagai referensi, Teh Nia memiliki segudang pengalaman di berbagai organisasi. Sementara Kang Usman adalah seorang birokrat dengan jenjang karir yang merentang panjang di berbagai tingkat dan jenis penugasan. Meski berbeda latar belakang, keduanya bisa diinterpretasikan sebagai pasangan calon yang saling melengkapi.
Interpretasi selanjutnya, yakni Teh Nia dan Kang Yogi ingin memastikan jika sebagai calon bupati dan wakil bupati Bandung, mereka berharap tidak ingin adanya perbedaan derajat atau kelas sosial yang bisa memicu konflik sosial di tengah masyarakat Kabupaten Bandung. Teh Nia dan Kang Usman boleh jadi menginginkan adanya satu tujuan bersama masyarakat, meski pada realitasnya, tentu akan selalu diwarnai perbedaan.
Penegasan penggunaan kata sepatu di sini saya pandang bahwa mereka berdua siap berkorban untuk melindungi masyarakat dan menjadi alat yang diandalkan masyarakat dalam pencapaian kesejahteraan. Sepatu bisa juga dilambangkan sebagai kesejahteraan dan juga alas penopang tubuh. Dimana tubuh disini diartikan sebagai rakyat. Sebab, rakyat adalah pemegang kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi. Hasil dari sistem demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat.
Ini bukanlah ilmu cocoklogi, sekali lagi ini hanya sebuah interpretasi. Entahlah dan siapa yang tahu? Apakah pantun itu memang sudah disiapkan atau memang diucap secara spontan oleh Teh Nia. Yang jelas, jika dinalar secara waras, tentu pembuatan pantun di masa kampanye seperti ini tidak mungkin diciptakan jika tanpa didasari sebuah kerangka berpikir. Sudah baranng tentu, segala sesuatu yang digunakan untuk tujuan kerja politik, pasti telah dikonsepkan sebelumnya.***
Editor: denkur