Berdasarkan catatan di Bidang Kebudayaan Disparbud KBB, untuk Warisan Budaya tak Benda (WBTB) saja, di wilayah KBB terdapat 25 budaya buhun.
DARA- Kabupaten Bandung Barat (KBB) cukup kaya dengan keragaman seni dan budayanya. Masing-masing kecamatan, di daerah ini memiliki karakter seni dan budaya yang beragam.
Seni dan budaya tersebut, merupakan warisan secara turun temurun dan diantaranya masih ada yang terpelihara secara baik hingga kini.
Berdasarkan catatan di Bidang Kebudayaan Disparbud KBB, untuk Warisan Budaya tak Benda (WBTB) saja, di wilayah KBB terdapat 25 budaya buhun.
Hingga kini, masih terjaga kelestariannya oleh para generasi penerusnya. Walaupun sempat tersembunyi karena budaya buhun yang sarat dengan ritual itu, dianggap berbenturan dengan faham agama.
Namun setelah lahirnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, kegiatan ritual sebagai warisan leluhur mulai terbuka.
Kepala Bidang Kebudayaan, Disparbud KBB, Usup Suherman mengungkapkan, dulu warga yang menyelenggarakan kegiatan ritual dalam sebuah momentum, tertutup.
Baru setelah lahirnya UU tersebut, kegiatan ritual itu mulai terbuka sehingga siap dipublikasikan melalui tayangan film dokumenter.
“Setelah merasa ada sebuah perlindungan dengan Undang-undang, mereka baru mau terbuka. Dulu mereka nggak mau, karena menyangkut adat istiadat,” jelas Usup.
Gayung bersambut, pemerintah justru menjaga kelestarian seni budaya buhun WBTB tersebut dengan menyelenggarakan even.
Pemerintah Propinsi Jawa Barat (Jabar), bahkan menyelenggarakan Pekan Budaya Daerah. Even ini, dilaksanakan oleh Disparbud Jabar 2021.
Untuk KBB, dari 25 WBTB terpilih tiga kegiatan ritual yang bakal ikut pekan budaya tersebut.
Usup menyebutkan, pertama Serepan Patalekan, kedua Upacara Pamitan dan ketiga Upacara Mikul Lodong.
“Ketiganya akan mewakili KBB dalam Pekan Budaya tahun ini,” jelasnya.
Kepala Seksi Pengembangan Kebudayaan dan Kesenian Disparbud KBB Hernandi Tismara menjelaskan, Serepan Patalekan diselenggarakan oleh Paguron Pasir Ipis di Desa Jayagiri, Kecamatan Lembang.
Paguron yang dipimpin Asep Gurmawan ini melakukan ritual, tatkala para muridnya telah menguasai jurus-jurus tertentu yang digembleng di Paguron tersebut.
Pada intinya, mereka diuji untuk menunjukan gerakan-gerakan silat di atas sebuah niru. “Bagi yang lulus, dibai’at oleh gurunya dengan pesan moral, agar mengamalkan kebajikan. Ijazah yang lulus diberikan, ketika silat di atas niru,” jelas Hernandi.
Ritual lainnya yang cukup menarik perhatian adalah Upacara Pamitan Ngala Batu yakni upacara permohonan ketika mau mengambil bebatuan, untuk dijadikan perabot rumah tangga.
Upacara Pamitan ini berada di Kampung Pojok, Desa Jaya Mekar, Kecamatan Padalarang. Warga mengambil bebatuan di dalam tanah untuk dijadikan cobek (cowet-dalam Bahasa Sunda), uleukan (mutu-Bahasa Sunda), dan lainnya.
“Kalau mau ngala (ngambil) batu, ya mipit kudu amit, ngala kudu bebeja (ngambil sesuatu harus ngasih tahu dulu). Warga mengadakan ritual, sebagai permohonannya,” beber Hernandi.
Artinya, untuk mengambil batu buat kepentingan perkakas dapur ini tidak dilakukan begitu saja. Bagi warga di sana, etika terhadap alam masih dijalankan dengan melakukan ritual tersendiri.
“Biasanya saat ritual, ada sesajen dengan melantunkan sebuah kidung mistis. Kebiasaan itupun, sudah dilakukan sejak Indonesia belum merdeka dan sekarang masih (dilakukan) secara turun temurun,” paparnya.
Sedangkan ritual Upacara Mikul Lodong yang diselenggarakan di Kampung Cikurutug, Desa Tagog Apu Kecamatan Padalarang ini, juga merupakan prosesi ujian bagi para pesilat yang dianggap sudah mahir apabila sudah bisa memikul Lodong, penuh air.
Air dari lodong (kayu), tersebut tidak boleh tumpah. Padahal si pesilat membawa Lodong tersebut dengan kondisi medan jalan yang berliku.
Jika airnya tumpah, maka si pesilat dianggap tidak lulus. Setelah aksi bawa air di dalam Lodong, yang cukup berat itu, pesilat harus ngibing (nari) dengan jurus-jurus cantik.
“Mereka diuji ketahanan, melalui medan terjal dengan membawa air di Lodong. Jarak yang ditempuhnya sekitar 3 km,” ungkapnya.
Banyaknya budaya ritual di wilayah KBB ini, menunjukan betapa kayanya daerah ini dengan segala keragamannya. Sejarah juga bisa menunjukan bahwa dulu di wilayah KBB, merupakan sebuah kewedanaan Unggul Kahuripan.
“Konon Umbul Kahuripan ini, dipimpin oleh Tumenggung Adipati Wirasuta. Sindang Geulis berada di Cikalongwetan,” papar Hernandi. (Advetorial)**