Seiringnya perkembangan zaman dan teknologi, popularitas radio kini tak lagi digandrungi banyak orang. Padahal, dulu radio jadi primadona banyak orang sebagai sarana informasi dan hiburan.
DARA | BANDUNG – Makin maraknya televisi dengan sajian program yang lebih beragam, juga bumingnya sosmed seperti facebook, whatsapp, IG dan youtube, menggeser kecenderungan orang mendengarkan siaran radio.
Meski saat ini memang masih banyak stasiun radio yang mengudara, namun tak lagi jadi primadona orang untuk mencari informasi berita atau sekadar hiburan.
Eli Marlina warga Bandung menuturkan, dulu satu dua orang saja yang punya radio. Masih terbayang dalam ingatan, bentuk radionya, merknya dan siaran-siarannya.
“Bahkan yang paling lucu, saat batu batrenya habis, itu beberapa kali malah dijemur di matahari agar radio kembali menyala. Hingga kini tidak tahu apa hubungannya batu batre radio dijemur bisa kembali menghidupkan radio,” ujarnya seraya tertawa mengenang masa lalu.
Soal program siarannya, kata Eli, hanya berisikan tentang info-info berita, dongen sunda, kesenian sunda, dan yang paling populer adalah wayang golek.
“Ya setiap malam minggu RRI selalu menyiarkan pagelaran wayang, bak dari kaset maupun pagelaran langsung dari gedung YPK Bandung,” ujar Mang Tohir warga Bandung.
Menurut Mang Tohir, banyak hal yang jadi kenangan jika bicara tentang eksistensi radio di jaman dulu, tahun 80 puluh ke sana. Radio saat itu benar-benar jadi sarana hiburan dan informasi berita satu-satunya.
“Semakin ke sini harga radio relatif terjangkau oleh kalangan masyarakat ekonomi menengah ke bawah, sehingga akhirnya banyak yang punya radio,” ujar Mang Tohir.
Biasanya, dulu radio itu sangat digandrungi bapak-bapak. Dari jam 12 malam hingga pagi asyik mendengarkan drama sunda, dan music-musik sunda, kalau orang Jawa Barat.
“Di zaman saya mah gelombang radio yang paling bagus hanya MW itu juga suaranya nggak jelas, nggak murni,” Mang Tohir.
Tidak mudah untuk mempunyai radio di kalangan rakyat jaman dulu. Waktu itu jika orang mempunyai radio harus membayar pajak pertahun. Tidak hanya itu, kata Mang Tohir, ketika kita membeli radio tidak bisa langsung dipakai karena harus menservice untuk mendapatkan siaran radio yang bagus.
“Sekecil apapun bentuknya radio, tetap harus membayar pajak,” ujarnya.
Ketika suara radio tersebut tidak jelas biasanya memanjangkan antenna dengan kabel, kemudian diarahkan ke atap rumah. Pertanda jika baterai radio tersebut habis volume yang ada di radio tersebut mengurang.
“Kalo lagi ga punya uang buat beli batre, biasanya batre yang sudah habis dijemur di batu yang terkena sinar matahari, batre tersebut bisa ada lagi isinya, itu juga sebentar sejam juga udah habis,” ujarnya Mang Tohir mengenang masa lalu.
Lalu yang menjadi trending di radio tempo dulu adalah sebuah cerita yang berjudul “Nini Pelet”.
Semenjak datangnya televisi radio dilupakan orang, kecuali nenek-nenek dan kakek-kakek.***
Wartawan (Job): Adinda Rohimah – Dela Fatimah Azzahra | Editor: denkur