Rumah berarsitektur perpaduan Eropa dan Cina di Jalan Soekarno-Hatta, Kelurahan Anggut Atas, Kota Bengkulu menjadi saksi bisu perjuangan Bung Karno pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda.
DARA | Soekarno pertama kali menginjakkan kaki di Bengkulu pada tahun 1938 ketika diasingkan oleh Belanda hingga tahun 1942.
Di rumah tersebut tersimpan berbagai benda bersejarah peninggalan Bung Karno seperti sepeda ontel, buku bacaan, kostum Monte Carlo, naskah sandiwara, dan lain sebagainya.
Ratusan koleksi buku berbahasa Belanda pun terlihat mengisi salah satu sudut rumah yang dulunya digunakan sebagai ruang kerja Bung Karno.
Buku-buku tersebutlah yang menemani Soekarno dalam pengasingan.
Di sepanjang dinding di dalam rumah, terdapat foto-foto maupun informasi yang menceritakan sejarah yang pernah terjadi di tempat tersebut maupun jejak narasi Bung Karno dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Cagar Budaya Nasional ini menjadi magnet bagi wisatawan yang berkunjung ke Kota Bengkulu, termasuk bagi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Abdullah Azwar Anas.
Ditengah rangkaian kunjungan kerjanya ke Provinsi Bengkulu, Menteri Anas menyempatkan diri untuk singgah ke Rumah Pengasingan Bung Karno.
“Saya kagum sekali karena ini bangunannya masih sangat terawat dengan baik. Dan koleksi-koleksinya peninggalan Bung Karno di sini pun masih lengkap,” ujarnya.
Diketahui, semasa Bung Karno diasingkan di Bengkulu, ia tetap gigih untuk tetap menyuarakan semangat perjuangan kemerdekaan Indonesia. Hal ini menjadi pelajaran bagi masyarakat Indonesia bahkan masih relevan untuk diterapkan di masa sekarang.
“Di tempat ini tergambar kegigihan Bung Karno meskipun ditengah situasi pengasingan. Beliau selama di pengasingan banyak membaca maka kematangan berpikirnya sebagai seorang pemimpin dari seluruh dunia dia dapatkan,” ujarnya.
Meski diasingkan oleh Belanda, Bung Karno mencari cara untuk memotivasi dan menggerakkan masyarakat Indonesia di Bengkulu, khususnya kaum muda.
Salah satunya dengan membentuk sebuah grup pertunjukan bernama Monte Carlo. Di pertunjukan musik dan drama ini, Bung Karno menulis naskah dan memasukkan nilai-nilai sosial dan nasionalisme dengan cara yang bisa menggugah hati dan pikiran pendengarnya.
“Dari sini kita belajar Pak Soekarno itu otodidak sejak awal dengan membuat naskah sandiwara grup sandiwara yang kemudian menjadi cerita untuk mendidik dan memotivasi rakyat,” tutur Anas.
Selama diasingkan di Bengkulu Bung Karno pun diketahui aktif dalam kegiatan di Muhammadiyah bersama tokoh-tokoh lainnya. Sang Proklamator pun menjadi penggerak dalam pembangunan masjid di Bengkulu.
“Kita lihat Bung Karno ini salah satu presiden yang peduli dengan arsitektur. Banyak bangunan di zaman Bung Karno yang timeless,” ujar Anas. (del/HUMAS MENPANRB)
Editor: denkur