Catatan : Agus Dinar,
wartawan, tinggal di Bandung
PILKADA serempak sudah diambang pintu. Pilkada serempak di Indonesia sudah terselenggara tiga kali.Dalam waktu tidak lama lagi Pilkada serempak yang keempat kalinya 2024 segera digelar.
Sekadar mengingatkan tiga kali Pilkada itu digelar pada tahun 2015, 2017, dan 2018.
Gelaran Pilkada serempak itu boleh jadi dimaksudkan untuk mengefisiensikan anggaran, menekan pelanggaran dan kecurangan, juga menekan gejala sosial-politik yang tak terkendali alias kebablasan.
Pilkada yang sebelumnya dilaksanakan secara terpisah berdasarkan periode akhir masa jabatan setiap kepala daerah.
Dari penyelenggaraan tiga kali Pilkada tersebut memunculkan fenomena, berupa prosentase kemenangan calon petahana.
Kemenangan calon petahana sangat krusial di Pilkada 2018. Karena itu kemenangan calon petahana ini sangat menarik untuk ditelisik. Faktor apa saja yang menjadikan calon petahana ini lebih unggul ketimbang calon debutan.
Berangkat dari fenomena persentase kemenangan para petahana di berbagai kontestasi pilkada 2018, maka menarik untuk ditelaah faktor-faktor yang menyebabkan kemenangan para petahana tersebut.
Diakui ataupun tidak diakui, bahwa calon petahana diuntungkan oleh tiga faktor yang melekat saat calon petahanan menjabat.
Ketiga faktor itu tidak dimiliki oleh calon nonpetahana. Yakni tiga faktor kekuasaan pertama, bentuk kekuasaan yang terlihat yaitu kesempatan untuk menarik simpati masyarakat melalui jualan program pembangunan yang telah dilaksanakan sebagai investasi politik.
Kedua, bentuk kekuasaan yang tersembunyi, atau hidden power, ialah politisasi birokrasi melalui mobilisasi aparatur sipil negara, monopoli dukungan partai politik, dan kooptasi terhadap penyelenggara pemilu. Ketiga, bentuk kekuasaan yang tidak terlihat (invisible power), melalui peranan pemuka agama dan pemangku adat untuk menanamkan nilai-nilai dan ideologi merupakan modalitas politik petahana sebagai konsekuensi dari stratifikasi sosial.
Mungkin karena ketiga faktor itu sehingga 37 petahana kepala daerah yang memenangkan Pilkada 2017 dari total 61 daerah berpetahana kepala daerah. Data Infopilkada.kpu.go.id mengungkapkan prosentase kemenangan calon petahana mencapai 60,65%.
Calon petahana pun diuntungkan oleh kewenangan menyetujui anggaran penyelenggaraan Pilkada yang kemudian boleh jadi ini menjadi alat dominasi bagi pencalonanya.
Di Pilkada serempak 2024 ini sudah tentu di sejumlah daerah terdapat calon petahana, salah satunya di Kabupaten Bandung. Di Kabupaten Bandung ada dua petahana akibat bubar kongsi : Dadang Supriatna, bupati yang kemudian menjadi calon bupati (petahana) dan Syahrul Gunawan (wakil bupati) yang kemudian di Pilkada 2024 ini menjadi calon bupati. Syahrul Gunawan boleh disebut sebagai calon bupati petahana sebab sebelumnya dia sebagai wakil bupati.
Namun demikian calon bupati petahana Dadang Supriatna lebih diuntungkan, jika tiga faktor penunjang kemenangan para petahanan di Pilkada 2017 dimaksimalkan. Berbeda dengan calon petahana Syahrul Gunawan, tidak memiliki kewenangan setara dengan Dadang Supriatna, untuk memaksimalkan tiga faktor kekuatan untuk kemenangan petahana itu.
Wal hasil calon petahana Dadang Supriatna di Pilkada 2024 Kabupaten Bandung terposisikan diuntungkan. Meski demikian tak perlu jumawa dengan itu. Sebab takdir bisa membawa ke arah yang lain.
Bahan : Berbagai sumber.