Hadir di Hari Pers Nasional 2019 di Surabaya, PWI Jawa Barat sepakat untuk ke sana menggunakan jalan darat dengan moda angkutan bis. Maka 40 orang yang terdiri dari pengurus PWI Jawa Barat dan pengurus serta anggota PWI kabupaten dan kota yang ada di Jabar 6 Februari bertolak ke Surabaya dari skretariat PWI Jabar di Jalan Wartawan Buah Batu Kota Bandung sekira pukul 16.00 WIB.
Bis yang mengangkut rombongan kami melaju menyusuri jalan bebas hambatan dari Purbaleunyi, masuk ke Cipali dan berujung di Pajagan lantas masuk ke jalan bebas hambatan alias tol trans Pulau Jawa.
Bis yang mengakut rombongan PWI Jabar melaju dengan nyamanya. Rekan kami, menikmati perjalanan itu. Bahkan saking nyamanya sebagian besar anggota rombongan tertidur lelap.
Jalan bebas hambatan trans Pulau Jawa meski di bebarapa ruas jalan masih belum memadai sistim penerangan jalannya, namun dari sisi konstruksi badan jalan sangat layak dilalui kendaraan baik yang berkelas kecil maupun jenis moda angkutan masal seperti bis, dan bahkan angkutan barang berupa truk truk besar.
Namun dalam benak ini muncul rasa penasaran yaitu arus kendaraan baik saat perjalanan menuju Surabaya, maupun saat balik dari Surabaya menuju Bandung sepi. Padahal dengan terbentangnya jalan bebas hambatan trans Pula Jawa ini, baik dari jarak tempuh maupun waktu tempuh lebih singkat sekira dua samapi tiga jam dibanding perjalanan menggunakan jalur jalan lama, — melalui jalur– pantai utara (Pantura), atau jalur Selatan Jawa.
Setelah tiba di Bandung pada Sabtu (9/2/2019) malam rasa penasaran itu terjawab sudah. Kenapa sepi kendaraan di jalan bebas hambatan Trans Pulai Jawa itu?Jawabnya ternyata soal tarif yang dinilai mahal. Apalagi tarif tersebut bagi kendaraan niaga, “Bagi kami itu mahal, dari Bandung ke Surabaya menggunakan jalan tol Trans Pulau Jawa itu mencapai Rp750 ribu sejalan,” kata A Wardiana sopir bis pariwisata.
Mungkin karena ini, lantas pemerintah merespon dengan berencana untuk menurunkan tarif tol Jakarta-Surabaya. Padahal saat peresmian dulu, diasumsikan Jalan Tol Trans Jawa ini bakal gempita dengan kepadatan kendaraan yang signifikan.
Maka cukup alasan jika banyak suara yang menyatakan Jalan Tol Trans Jawa ini sepi. Kemudian cukup alasan pula para pengguna, menyatakan sepinya klendaraan yang melaju di Tol Trans Jawa itu karena tarif yang dinilai mahal.
Betapa tidak, tarif tol ini nyaris setara dengan tarif tiket pesawat terbang Jakarta – Surabaya perorangan.
Meski begitu tak ada salahnya jika ditelaah juga soal fungsi keberadaan jalan tol tersebut. Pada dasarnya fungsi tol yakni untuk percepatan distribusi barang. Tetapi jika angkutan barang menganggap tarif tol mahal, dan kemudian tidak menggunakanya, itu berarti fungsi percepatan tersebut tidak sepenuhnya berjalan. Sayang.
Bahkan sopir truk memilih lewan jalan arteri Pantura. Alasanya sama, terlalu mahal. Jika dipaksakan masuk tol ini, bisa dipastikan para sopi angkutan barang uang sakunya akan terkuras, “ Gak buat orang rumah,” kata Jaja (42) sopir truk penduduk Bekasi.
Beruntung keluhan ini sepertinya terserap oleh Menteri PUPR. Sang menteri pun segera menyatakan “Pemerintah akan mengevaluasi soal tarif ini. Kemungkinan akan ada penurunan tarif”.
Nah, turunkan tarif. Jika ini segera terlaksana, pembangunan infrastruktur jalan-(baca: Jalan Bebas hambatan Trans Jawa), semata untuk kejehateraan rakyat. Bukan untuk yang lain.(***)