Pandemi saat ini telah mengubah wajah dunia. Banyak aspek kehidupan manusia yang berubah dalam kurun waktu dua tahun terakhir karena wabah Covid-19.
DARA – Tidak terkecuali bagi kaum muslimin, berbagai kebiasaan baru terasa mengusik kebiasaan lama yang entah dapat kembali seperti semula atau tidak. Shalat, haji, umrah, dan mengaji dengan bermasker seakan tidak pernah terbayang sebelumnya.
Umat Islam dalam situasi pandemi memegang prinsip kesabaran yang luar biasa. Namun, ketidakpastian seringkali melelahkan setiap upaya untuk bertahan dalam kesabaran. Seolah beradu kuat dengan kelapangan dada, muncul berbagai tanda tanya di dalam hati kaum muslimin saat menyikapi perubahan karena pandemi.
Apakah generasi terdahulu di masa sahabat Nabi saw juga mengalaminya? Jika memang kehidupan harus berubah karena pandemi, hikmah apa yang mengiringi kehidupan para sahabat nabi ketika mengalami situasi tersebut?
Berkaca dari sejarah para sahabat, sesungguhnya pandemi memang menandai berbagai perubahan. Perubahan tersebut ada yang terkait dengan munculnya peradaban baru, terdobraknya tradisi lama, sampai dengan keterpaksaan yang menimbulkan ketidaknyamanan.
Semua kejadian yang terjadi pada masa sahabat dan berhubungan dengan pandemi seakan menjadi pelajaran penting untuk bisa diambil hikmahnya.
Imam as-Suyuthi dalam kitab sejarah tentang pandemi berjudul Mâ Rawâhul Waun fî Akhbârit Thâ’un memberikan beberapa contoh perubahan unik yang terjadi di sekitar para sahabat. Ia menjelaskan perubahan sosial maupun kehidupan pribadi yang berhubungan dengan pandemi dan dialami oleh para sahabat sebagaimana berikut ini:
Mimpi As’ad bin Zurarah: Tha’un sebagai Tanda Peradaban Baru
Dalam at-Thabaqât Ibnu Sa’ad berkata: “Ali bin Muhammad dari Yazid bin ‘Iyadh mengabarkan dari Haram bin Utsman al-Anshari, dia berkata: ‘As’ad bin Zurarah al-Anshari mengunjungi kami dari Syam dengan membawa 40 orang dari kaumnya. Lalu dia pun bermimpi bahwa ada orang yang datang lalu berkata, Wahai Abu Umamah, sungguh Nabi kita telah keluar dari Makkah, maka ikutilah.
Tandanya adalah kalian akan singgah di satu tempat lalu para sahabatmu akan tertimpa musibah, engkau akan selamat, dan fulan akan terkena tha’un pada matanya’.” (As-Suyuthi, Mâ Rawâhul Waun fî Akhbârit Thâ’un, [Damaskus, Dârul Qalam], halaman 174).
Mimpi sahabat As’ad bin Zurarah atau yang dikenal dengan panggilan Abu Umamah tersebut menunjukkan bahwa munculnya Nabi di Makkah akan diiringi dengan tanda-tanda, salah satunya adalah tha’un yang mengenai mata seseorang. Karena itu, munculnya tha’un dalam hal ini merupakan rangkaian dari perubahan besar peradaban dunia berupa kebangkitan nabi akhir zaman dan kelak akan diikuti oleh As’ad bin Zurarah.
Sahabat As’ad bin Zurarah termasuk pemuka kabilah Khazraj di Madinah yang ikut dalam baiat di hadapan Nabi saw.
Mimpi yang benar dari sahabat As’ad ini merupakan bagian dari berita gembira bagi orang-orang yang menempuh jalan pencarian keimanan, meskipun salah satu tandanya adalah munculnya thaun mata yang pada saat itu termasuk jarang terjadi.
Sahabat As’ad sendiri merupakan penduduk Yatsrib atau Madinah yang saat itu sering mendengar berita akan kemunculan nabi terakhir dari para pemuka kaum Yahudi. Sahabat As’ad akhirnya bertemu dengan Nabi saw saat mengunjungi Makkah dan thawaf di sekitar Ka’bah. Saat itulah, semula Sahabat As’ad menyumpal telinganya agar tidak mendengar perkataan Nabi saw, tetapi kemudian berbalik untuk mendengarkan dakwah Nabi.
Ummul Mukminin ‘Aisyah Melawan Mitos Bulan Syawwal sebagai Bulan Kesialan
Ibnu Sa’ad berkata: “Abu ‘Ashim an-Nabil mengabarkan: ‘Sufyan bin Isma’il bin Umayyah menceritakan dari Abdullah bin Urwah, dari Urwah, dari ‘Aisyah radiyallahu ‘anha, dia berkata: ‘Rasulullah menikahiku pada bulan Syawwal. Aku berhubungan dengan Beliau pada bulan Syawwal. Tidak ada seorang pun yang lebih beruntung daripadaku di sisinya. Karenanya, ‘Aisyah lebih senang menikahkan kaum perempuan pada bulan Syawwal.’ Abu ‘Ashim berkata: ‘Orang-orang tidak suka memasuki bulan Syawwal, karena tha’un pernah terjadi pada bulan itu di tahun pertama’.” (As-Suyuthi, Mâ Rawâhul Waun, halaman 177).
Uraian Abu ‘Ashim di atas menunjukkan bahwa bulan Syawwal sempat dianggap membawa sial karena tha’un pernah terjadi di bulan itu pada tahun pertama hijriah. Karena itu, tradisi yang semula berlaku di Madinah adalah pantang menikahkan kaum wanita pada bulan Syawwal.
Namun, tradisi itu didobrak oleh inisiatif Ummul Mukminin ‘Aisyah yang senang menikahkan kaum wanita di Madinah pada bulan Syawwal sebagaimana waktu pernikahan beliau dengan Rasulullah saw. Perubahan tradisi ini menandai perubahan sosial yang kelak diikuti oleh umat Nabi Muhammad saw hingga saat ini di berbagai belahan dunia. Di Indonesia pun, bulan Syawwal identik sebagai bulan orang menikah.
Subai’ah al-Aslamiyyah Terpaksa Makan dengan Tangan Kiri Karena Terpapar Pandemi “Muhammad bin ar-Rabi’ dalam Musnad-nya dan al-Baihaqi dalam ad-Dalail meriwayatkan dari Uqbah bin ‘Amir, bahwasanya Rasulullah saw melihat Suba’iah al-Aslamiyyah radiyallahu ‘anha sedang makan menggunakan tangan kirinya. Lalu, beliau pun bertanya: ‘Kenapa dia makan dengan tangan kiri? Apakah penyakit ghuddah mengenainya? Lalu Suabai’ah pun berkata: ‘Wahai Nabi Allah, sesungguhnya ada luka bernanah dalam mataku. Mereka berkata, Yazid berkata, kami mendapatkan kabar bahwa ketika Subaiah melewati Gaza, dia terkena tha’un hingga membuatnya meninggal’.” (As-Suyuthi, Mâ Rawâhul Waun, halaman 177).
Uraian yang dikemukakan oleh penulis kitab di atas menunjukkan bahwa Subai’ah terkena tha’un yang gejalanya aneh, yaitu sampai menyerang mata. Ghuddah, sebagaimana yang ditebak oleh Nabi saw, adalah semacam penyakit pada kelenjar.
Berdasarkan jawaban yang disampaikan oleh Subai’ah, penyakit yang dideritanya telah menimbulkan luka pada matanya. Infeksi ini rupanya menjalar ke bagian tubuh lainnya sehingga tangan kanannya juga tidak luput dari serangan. Akibatnya, tangan kanannya tidak dapat lagi digunakan untuk menyuap makanan. Dengan terpaksa, ia mengubah kebiasaan makan yang semula dengan tangan kanan menjadi dengan tangan kiri.
Kejadian tersebut sempat disaksikan oleh Rasulullah saw yang akhirnya memakluminya. Subai’ah akhirnya meninggal setelah beberapa waktu berjuang dalam kesabaran karena penyakit thaun tersebut. Meskipun terpaksa menyuap makanan dengan tangan kiri, Subai’ah tetap makan untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya sebagai ikhtiar bertahan hidup meskipun terkena tha’un.
Beberapa perubahan kehidupan yang dirasakan oleh sahabat di atas tentu tidak lepas dari suka dan duka. Namun, hal penting yang perlu kita ambil sebagai pelajaran adalah hikmah besar berupa kebaikan di balik munculnya pandemi. Segalanya menjadi baik bagi umat Islam, termasuk ketika mendapati pandemi bila diiringi dengan kesabaran.
Bagi orang yang selamat dari pandemi dan menjadi saksi mata saat pandemi sebagaimana sahabat As’ad, maka rasa syukur dengan mengikuti kebenaran dan membela Nabi saw adalah manifestasi iman yang bermanfaat dalam perubahan kehidupannya.
Ummul Mukminin bahkan mengubah waktu tertentu yang dianggap membawa sial karena terjadinya pandemi menjadi bulan suka cita bagi kaum muslimin yang hendak menikah. Penyintas penyakit seperti Subai’ah tetap berjuang bertahan hidup meskipun terpapar pandemi yang membuatnya merasa tidak nyaman dengan perubahan fungsi kebiasaan tangannya ketika beraktivitas sehari-hari.
Itulah cerminan generasi teladan yang bisa kita ikuti hingga saat ini.
Artikel ini sebelumnya sudah ditayangkan NU Online dengan judul: Pandemi dan Perubahan Kehidupan para Sahabat Nabi, ditulis oleh Yuhansyah Nurfauzi, Apoteker dan Peneliti di Bidang Farmasi.
Editor: denkur