Agus Dinar
Meraih kursi kekuasaan pada sistim demokrasi sejatinya adalah panggung pertarungan atraksi politik. Para petarung memaksimalkan kemampuan kesaktianya untuk mengalahkan atau bila perlu menghancurkan lawan.
Pada konsepsi politik modal kesaktian itu berupa sumber daya politik yang dimiliki kemudian digunakan sebagai alat untuk memenangkan, mendapatkan, mempertahankan, atau memperluas kekuasaan.
Dalam kancah pertarungan yang diistilahkan sebagai Pemilihan Umum (Pemilu) entah calon anggota legislatif maupun calon kepala daerah, kecuali Calon Presiden/wakil Presiden memasuki pertarungan politik pemilu tanpa menghitung terlebih dahulu apa modal politik yang mereka miliki, dan bagaimana modal politik itu bekerja. Akibatnya mereka tidak efektif menggunakan seluruh potensi yang dimiliki.
Harap dimaklumi kerja politik dalam pertarungan Pemilu memakan waktu dan energi tidak sedikit. Maka jika hasil akhir kerja politik itu tidak sesuai dengan kalkulasi awal maka seluruh kerja yang menghabiskan energi, waktu dan modal finasial itu seakan tidak bermakna.
Hanya sedikit peserta pemilu – khususnya para calon anggota legislatif–yang benar-benar dapat mengelola modal politik secara efektif. Berbeda dengan para politisi senior dengan masa pertarungan yang berkali-kali akan efisien dan efektip mengunakan modal politiknya.
Menyoal modal politik Sosiolog Prancis Piere Felix Bourdieu, membagi modal politik menjadi empat jenis yaitu; modal ekonomi, modal sosial, modal kultural, dan modal simbolik. Menurut dia, keempat modal ini cukup membantu untuk memahami realitas pertarungan politik pemilu di era kekinian.
Modal yang pertama merupakan sumber daya yang bisa menjadi sarana produksi dan sarana finansial. Modal ekonomi mencakup alat-alat produksi (mesin, tanah, buruh), materi (pendapatan dan benda-benda), dan uang. Maka semua jenis modal ini sangat mudah digunakan untuk segala tujuan, termasuk tujuan memenangkan pemilu.
Modal budaya, merupakan keseluruhan kualifikasi intelektual yang bisa diproduksi melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga, seperti kemampuan menampilkan diri di depan publik, pengetahuan dan keahlian tertentu hasil pendidikan formal, seperti gelar kesarjanaan.
Modal sosial merupakan jaringan hubungan sebagai sumber daya untuk penentuan kedudukan sosial. Adapun modal simbolik, yaitu modal yang menghasilkan kekuasaan simbolik.
Termasuk dalam modal simbolik adalah pimpinan tertinggi pada organisasi masyarakat, kendaraan mewah, foto dengan pakaian muslim yang taat, keturunan langsung dari pemimpin besar yang pernah memiliki pengaruh.
Dalam pertarungan politik, biasanya simbol memiliki kekuatan untuk mengkonstruksi realitas, yang pada akhirnya mampu menggiring orang untuk memilih kandidat tertentu.
Tampaknya bagi para elit baik birokrasi, elit militer, dan elit POLRI, seusai masa pengabdiannya di institusinya akan memiliki modal ekonomi (material) sekaligus sosial yang cukup memadai. Sebab semasa menjabat mereka mengelola keuangan negara baik APBN maupun APBD, sekaligus pelayanan publik.
Halnya dengan para elit partai politik, memiliki modal sosial melalui jaringan di tingkat lokal maupun nasional. Sebab menilik fungsi partai politik untuk mendapat kekuasaan pemerintahan di lembaga kekuasaan legislatif maupun eksekutif, menjadi salah satu penyebab elit politik kaya akan jaringan politik.
Pada prakteknya, keempat modal politik di atas, tidak berjalan sendiri-sendiri, melainkan saling mendukung. Elit yang menguasai modal ekonomi, seperti pengusaha biasanya kekurangan modal sosial, modal kultural, dan modal simbolik.
Dalam sistem sosial yang masih menempatkan figurisasi, maka elit yang menyadari kelebihannya sebagai orang yang memiliki modal ekonomi, sekaligus menyadari kelemahan-kelemahannya yang tidak memiliki modal-modal yang lain, biasanya tidak akan maju sebagai calon anggota legislative atau calon kepala daerah.
Nah jika keempat modal politik tersebut salah satunya atau bahkan seluruhnya tak dimiliki oleh Anda. Sebaiknya jangan coba-coba masuk ke kancah pertarungan Pemilu sebagai peserta. Itu saja.***