DARA | BANDUNG- Naik turun neraca perdagangan Indonesia. Di 2018 neraca perdagangan itu mengalami defisit, sedangkan di tahun sebelumnya mengalami surplus.
Neraca perdagangan Indonesia sepanjang tahun 2018 mengalami defisit senilai 8,57 miliar dolar. Sedangkan tahun sebelumnya, mengalami surplus senilai 11,84 miliar dolar. Surplus neraca perdagangan juga terjadi tahun 2016 yang mencapai 9,48 miliar dolar.
Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto mengatakan, defisit neraca perdagangan dipicu defisit perdagangan migas senilai 12,4 miliar dolar. Sementara transaksi sektor nonmigas masih mengalami surplus sebesar 3,83 miliar dolar.
“Pekerjaan rumah ke depan, pemerintah harus mencari cara bagaimana meningkatkan ekspor sehingga bisa menutup neraca perdagangan meskipun kita tahu tantangan semakin berat karena adanya perlambatan ekonomi global,” kata dia saat konferensi pers di Jakarta, Selasa 15 Januari 2019.
Berdasarkan data BPS, neraca perdagangan Indonesia tahun 2018 mengalami surplus terbesar dengan India senilai 8,76 miliar dolar, Amerika Serikat sebesar 8,56 miliar dolar, dan Belanda 2,62 miliar dolar.
Neraca perdagangan defisit terbesar dialami dengan Tiongkok senilai -20,85 miliar dolar, Thailand senilai -5,12 miliar dolar, dan Australia senilai -2,99 miliar dolar.
Menteri Kordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, kinerja neraca perdagangan masih terpengaruh oleh tingginya impor migas. “Defisit migas terlalu besar sehingga mempengaruhi total defisit,”ujar dia.
Darmin Nasution mengatakan, pemerintah melakukan berbagai upaya dalam mengatasi defisit perdagangan migas di antaranya melalui program B20. Namun upaya tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama,
Menurut Darmin Nasution, tingginya impor migas juga disebabkan kebergantungan masyarakat atau industri kepada penggunaan bahan bakar minyak.
“Kita terakhir surplus migas sekitar 2001-2002, setelah itu pelan-pelan impornya semakin besar. Sebelum ada upaya untuk menangani persoalan impor migas, neraca perdagangan masih akan sulit,”ujarnya.
Dari Washington DC dilaporkan, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan bahwa bila pemerintah Amerika Serikat memperpanjang fasilitas kemudahan “Generalized System of Preferences” (GSP) untuk Indonesia, hal itu juga akan menguntungkan Amerika Serikat.
“Kita beranggapan fasilitas GSP bermanfaat untuk kedua negara,” kata Enggartiasto Lukita di Washington DC, Amerika Serikat, Senin waktu setempat atau Selasa WIB.
Menyoal evaluasi yang dilakukan Amerika Serikat terhadap indonesia terkait apakah status GSP untuk Indonesia akan diperpanjang, Mendag mengemukakan kementeriannya telah melakukan proses yang dilakukan secara internal dalam rangka menyesuaikan harapan perubahan yang telah dicetuskan oleh Amerika Serikat.
Selain itu, Kemendag juga telah bersinergi dengan sejumlah pihak seperti duta besar dan perwakilan pengusaha Indonesia di Amerika Serikat agar GSP yang dimiliki Indonesia bisa diperpanjang. demikian dilaporkan Antara.
Enggartiasto Lukita mengingatkan bahwa Kemendag telah diundang oleh Kantor Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat untuk bisa membahas progres yang telah dilakukan Indonesia.
GSP merupakan program pemerintah Amerika Serikat dalam rangka mendorong pembangunan ekonomi negara-negara berkembang yaitu dengan membebaskan bea masuk ribuan produk negara-negara itu, termasuk Indonesia, ke Amerika Serikat.
Sebanyak 3.546 produk Indonesia diberikan fasilitas GSP berupa eliminasi tarif hingga 0 persen.
Dalam tujuh bulan terakhir, Indonesia telah melakukan komunikasi dan koordinasi intensif dengan Amerika Serikat agar status Indonesia dapat tetap dipertahankan di bawah skema GSP.***
Bahan: pikiran-rakyat.com