Itu menunjukkan tidak linearnya antara kepentingan politik lokal di daerah, dengan ego politik pimpinan partai di nasional.
Oleh: Holid Nurjamil | Penulis: Direktur Puskapol Ekbang
MENYIKAPI dinamika politik menjelang Pilkada, kita sebagai warga Bandung Barat, mengikuti dan memperhatikan isu-isu di media sosial, wacana di forum diskusi, maupun pemberitaan di media cetak/elektronik terkait bakal calon kepala daerah yang akan direkomendasikan oleh partai politik.
Kita berpikir, berasumsi bahwa tokoh-tokoh yang mendaftar mengikuti proses tersebutlah, akan muncul mendapatkan rekomendasi dari partai politik untuk nanti mendaptar ke KPU sebagai pasangan calon bupati dan wakil bupati.
Ketika di akhir bulan April dan Mei 2024, beberapa partai politik yang memiliki kursi di DPRD, membuka penjaringan /pendaftaran bakal calon kepala dan wakil kepala daerah. Memberikan angin segar kepada kita semua, karena partai politik memberikan ruang kepada para tokoh diluar kader partai untuk mengikuti pendaftaran.
Harapan itu muncul karena banyak tokoh yang memiliki jiwa leadership, kapabilitas dan integritas, rekam jejak yang baik, mendaftar ke berbagai partai politik.
Tetapi pada perkembangannya harapan-harapan tersebut sepertinya hanya isapan jempol belaka. Beberapa partai politik sudah mengeluarkan rekomendasi, ternyata yang muncul bukan nama-nama yang mendaftar sebelumnya. Akan tetapi nama-nama yang seolah-olah turun dari langit begitu saja, dengan memakai istilah penugasan.
Nama-nama tersebut banyak dipertanyakan oleh sebagian besar masyarakat kami, terkait track recordnya. Karena kalo tidak bisa dibaca, ibarat kita beli kucing dalam karung. Apalagi dengan kejadian 3 kali bupati dan Pj. Bupati bermasalah dengan hukum.
Dari obrolan dan diskusi tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat kita membutuhkan pemimpin yang merakyat, tegas, cerdas dan religius.
Pemimpin yang memahami permasalahan di masyarakat, terkait mahalnya kebutuhan pokok, fasilitas kesehatan yang tidak memadai, fasilitas pendidikan PAUD, SD, SMP perlu perbaikan, infrastruktur kurang memadai, tingkat kemiskinan tinggi.
Selain itu, tingkat pengangguran terbuka yang tinggi, pendapatan masyarakat yang rendah, kurangnya interkoneksi antar wilayah dan adanya ketimpangan antar wilayah cukup tinggi.
Dengan memahami berbagai persoalan tersebut, diyakini calon pemimpin tersebut, akan memberikan solusi, sehingga membuat visi, misi dan strategi pembangunan yg jelas dan terukur.
Sebagai warga KBB, kita sering mengobrol, berdiskusi dengan para ketua RW, ketua RT, tokoh pemuda, tokoh agama dan juga Gen Z. Mereka sering menanyakan terkait proses pencalonan Kepala daerah dan juga memberikan gambaran terkait kriteria calon yang cocok untuk memimpin Bandung Barat ke depan.
Kalau kita boleh menggambarkan proses pendaftaran balon kepala desa saja (yang lebih dari 5), ada penilaian dahulu oleh Timsel. Dengan bobot penilaian pendidikan, usia, pengalaman dalam bidang organisasi/lembaga. Apalagi ini untuk calon Kepala daerah, harusnya bobot penilaiannyapun harus lebih tinggi oleh pimpinan partai politik.
Itu menunjukkan tidak linearnya antara kepentingan politik lokal di daerah, dengan ego politik pimpinan partai di nasional.
Menyikapi hal tersebut diatas, kami merasa prihatin terkait kondisi yang terjadi menjelang pendaptaran calon pada 27-29 Agustus yang akan datang. Mau dibawa kemana arah Kabupaten Bandung Barat ke depan ???. Pertanyaan kita buat para pimpinan partai politik. (Penulis: Direktur Puskapol Ekbang).
Editor: Maji