Beberapa bulan yang lalu, artis kenamaan tanah air, Raffi Ahmad, resmi mengakuisisi klub sepakbola yang berkompetisi di Liga 2, Cilegon United.
Pemilik RANS Entertainment tersebut bekerjasama dengan dengan Prestige Motorcars milik Rudy Salim dan mengganti nama klub kebanggan masyarakat Cilegon itu menjadi RANS Cilegon FC.
Tempo hari, artis kenamaan lainnya, Gading Marten, juga dikabarkan resmi mengakuisisi Persikota Tangerang yang berlaga di kasta ketiga sepakbola Indonesia.
Hal tersebut dikonfirmasi langsung oleh pihak klub yang berjuluk Bayi Ajaib itu melalui akun instagram resminya.
Di waktu yang nyaris bersamaan, artis Atta Halilintar juga mengabarkan melalui akun instagram pribadinya bahwa dia baru saja membentuk klub sepakbola bernama AHHA PS Pati FC.
Berdasar rumor yang beredar, klub bentukan Atta itu merupakan hasil akuisisi klub Liga 2, PSG Pati, meski sampai tulisan ini dibuat belum ada konfirmasi resmi dari pihak klub terkait.
Tiga artis mengakuisisi klub sepakbola dalam waktu yang berdekatan. Dari ketiganya, mungkin salah satunya adalah klub yang selalu kita dukung dan kita banggakan. Bahkan, mungkin saja besok atau lusa bakalan ada artis lainnya yang turut mengakuisisi klub kebanggan asal kota kelahiran kita.
Tapi, pertanyaannya adalah: apakah para artis itu benar-benar berniat untuk mengembangkan klub kebanggaan kita? Apakah mereka bisa bertahan di tengah carut-marut sepakbola tanah air yang tak berkesudahan ini?
Pertama-tama dan yang paling utama, jika berkaca dari tren ‘kue artis’, maka wajib hukumnya bagi setiap pecinta sepak bola untuk bersikap skeptis, sebab tidak menutup kemungkinan jika artis-artis yang mengakusisi klub sepakbola itu cuma latah sosial aja, alias ikut-ikutan alias, nggak mau kalah sama Raffi Ahmad sebagai—sebut saja, pencetus tren. Atau bisa aja akuisisi yang mereka lakukan itu ada sangkut pautnya engagement mereka sebagai publik figur dan per-konten-an duniawi mereka, terutama bagi artis yang mengakuisisi PSG Pati. Nama klub yang diganti dengan bendera kebesaran mereka masing-masing saja sudah sangat cukup untuk
membuat saya berburuk sangka.
Betul memang jika mengakuisisi klub sepakbola itu pada dasarnya adalah bisnis, dan setiap pebisnis berhak menentukan arah bisnisnya masing-masing—lagi pula, iklim sepakbola di Indonesia agak pelit memberi ruang bagi kelompok suporter untuk turut andil dalam menentukan arah tim yang dibelanya.
Selain itu, para artis tentunya memiliki kekuatan finansial yang menjanjikan untuk mengembangkan sebuah klub sepakbola—yang notabene bukan klub yang berkompetisi di level tertinggi. Maka tak heran jika ketiga klub tersebut langsung mencanagkan target untuk naik kasta di musim kompetisi yang akan datang.
Bahkan, RANS Cilegon FC kabarnya akan membangun lapangan sepakbola bersertifikasi FIFA untuk akademi
sepakbola serta fasilitas olahraga lainnya di lahan seluas 2,7 hektar di kawasan Pantai Indah Kapuk 2. Jika terwujud, RANS Cilegon FC akan menjadi salah satu klub dengan fasilitas dan infrastruktur termewah di Indonesia.
Akan tetapi, para pemilik baru ini tetap saja mesti punya orientasi neraca laba-rugi yang baik; orientasi bisnisnya mesti seimbang dengan pengembangan klub yang dikelolanya. Jika tidak dibarengi dengan manajemen yang baik dan sehat, apalah gunanya kekuatan finansial itu.
Saya tidak sedang meremehkan kemampuan bisnis para artis—apalagi Raffi Ahmad yang sejauh ini terbukti sukses mengelola RANS Entertainment, ditambah sokongan Rudy Salim yang tidak perlu lagi saya jelaskan soal bisnis keluarganya. Melainkan berkaca dari pengalaman para artis sebelumnya yang latah berbisnis, ramai sesaat, lalu hilang tertimbun masa.
Sementara itu, carut-marutnya sepakbola tanah air adalah badai lain yang mungkin saja menerjang sepak terjang para artis di industri sepakbola. Besarnya pengaruh para publik figur ditambah kekuatan suporter dari klub yang dikelolanya menjadikan klub tersebut rentan dieksploitasi para pemilik modal untuk kepentingan pribadinya.
Satu-satunya yang bisa kita lakukan sebagai suporter hanyalah menaruh harapan kecil agar klub kebanggan kita benar-benar berkembang di tangan para artis itu; atau setidak-tidaknya klub kita tetep baik-baik saja sekalipun tanpa perubahan berarti.
Ketulusan dan keikhlasan para suporter untuk klub yang dibanggakannya terlalu berharga jika harus dinodai barang setitik oleh cerita konyol yang pernah menimpa.***
Editor: denkur