Peristiwa bocornya data eHAC Kemenkes beberapa waktu lalu memperlihatkan adanya respon lambat dalam menangani kebocoran data.
DARA – Tim IT Kemenkes yang sudah mendapatkan laporan kebocoran tidak segera bergerak, akhirnya sebulan setelah laporan pertama dan kedua tidak ditindaklanjuti Kemenkes, pelapor mengirimkan laporan ke BSSN dan langsung ditindaklanjuti.
Kasus ini membuktikan bahwa keamanan siber masih menjadi hal yang baru dan asing bagi lembaga pemerintah di Indonesia. Karena itu dibutuhkan CSIRT atau Computer Security Incident Response Team, sebuah divisi atau
badan khusus yang biasanya ada di lembaga negara yang khusus bertugas melakukan mitigasi saat ada peretasan maupun kebocoran data.
Pakar keamanan siber Pratama Persada menjelaskan, CSIRT sangat krusial di era digital saat ini. Karena
perlu ada yang bertanggungjawab disetiap lembaga saat terjadi serangan siber dan kebocoran data.
“CSIRT melakukan tugas monitoring, menerima, meninjau dan menanggapi laporan dan aktivitas insiden keamanan siber. Tim ini dibentuk dengan tujuan untuk melakukan penyelidikan komprehensif dan melindungi sistem atau data atas insiden keamanan siber yang terjadi pada sebuah organisasi,” ujar Pratama di acara lauching CSIRT-BPS.
Menurutnya, dengan adanya CSIRT maka bisa dilakukan mitigasi dan respons secara strategis. Lalu juga bisa membangun saluran komunikasi yang dapat dipercaya, memberikan peringatan dini kepada masyarakat dan kementerian/lembaga tentang dampak yang akan dan sudah terjadi.
“Salah satu yang paling penting dari CSIRT adalah berkoordinasi dalam meresponse insiden. Dalam hal ini GOV-CSIRT di Indonesia adalah BSSN, karena itu koordinasi antar CSIRT di berbagai lembaga negara dengan BSSN
perlu terus dibangin dan ditingkatkan, agar kejadian seperti di eHAC Kemenkes kemarin tidak terulang kembali,” terang chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC ini,” ujarnya dalam siara pers, Kamis (13/10/2021).
Pratama mengapresiasi pembentukan CSIRT-BPS ini. Karena BPS termasuk sebagai lembaga negara yang pasti diincar para peretas karena menyimpan dan mengolah begitu banyak data. Seperti disampaikan BSSN,
sepanjang Januari-AGustus 2021 ini tercatat lebih dari 800 juta kali serangan siber di tanah air, naik dua kali lipat dibandingkan 2020.
“Serangan dan pencurian data kita sepanjang masa pandemi banyak mengincar target yang mengelola data dalam jumlah besar. Tokopedia misalnya, karena itu BPS yang menyimpan dan mengolah data strategis ini
juga harus memperkuat sistem informasi mereka. Jangan sampai mudah dicuri dan dimanipulasi data yang dioleh serta disimpan oleh BPS. Karena itu kehadiran CSIRT ini sangat krusial di era digital saat ini,” kata
Pratama.
Berikut tujuh fungsi utama dari CSIRT:
- Defence melindungi infrastruktur kritis.
- Monitoring, menganalisis anomali dengan berbagai pola terdefinisi dan pola tak terdefinisi.
- Intercepting, mengumpulkan konten spesifik atau disebut targeted content.
- Surveillance, mengamati dan menganalisis aktivitas yang dicurigai dan informasi yang berubah dalam sistem.
- Mitigating mengendalikan kerusakan dan menjaga ketersediaan serta kemampuan layanan tersebut.
- Remediation, membuat solusi untuk mencegah kegiatan yang berulang ulang dan mempengaruhi sistem.
- Offensive, pencegahan/perlawanan dengan menyerang balik seperti Cyber Army dan kemampuan untuk menembus sistem keamanan.
Selain dihadiri Pratama Persadha, peluncuran CSIRT-BPS ini juga dihadiri oleh Kepala BSSN Letnan Jenderal TNI (Purn.) Hinsa Siburian dan Kepala BPS Margo Yuwono.***
Editor: denkur