Perang melawan covid, pemerintah terus berjuang melakukan berbagai langkah, dan media ada disitu menjadi bagian yang tak terpisahkan. Satgascovid mencatat 63 persen keberhasilan program penanganan pandemi dipengaruhi pemberitaan media.
Sejumlah langkah yang dilakukan pemerintah bersama-sama media adalah mulai dari penanganan kasus terpapar, penerapan protokol kesehatan dan pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), sosialisasi edukasi perubahan perilaku masyarakat hingga pemulihan ekonomi.
Sejauh ini cukup berhasil. Kesadaran masyarakat akan pentingnya menerapkan protokol kesehatan makin tinggi. Pemulihan ekonomi pun berangsur membaik meski belum seutuhnya pulih.
Pers Indonesia atau sebut saja media arus utama menjadi bagian yang sangat membantu pemerintah dalam upaya menyebarkan informasi yang benar terhadap masyarakat terkait upaya penanganan pandemi yang hingga kini sudah menginjak taun ke tiga menjalar di Indonesia.
Namun, profesionalitas Pers Indonesia tidak serta merta mulus saat ini. Disadari atau tidak, ternyata mendapat sederet tantangan yang cukup melelahkan. Baik tantangan terkait upaya penanganan pandemi Covid-19, maupun tantangan yang menyangkut masa depan pers itu sendiri.
Tantangan terkait upaya penanganan pandemi covid, Pers Indonesia harus berburu waktu, adu cepat dengan berita hoax yang berseliweran di jagat medsos.
Ketika Pers Indonesia tengah gigih menyebarluaskan informasi kepada masyarakat terkait covid dan sejumlah langkah yang dilakukan pemerintah, disaat itu pula berita hoax gencar tersiar di jagat medsos. Celakanya masyarakat netizen sering kali lebih cepat menerima dan percaya terhadap berita hoax, sebelum akhirnya mendapat berita yang benar dari media arus utama.
Fenomena ini jadi tantangan besar yang harus dihadapi dan terus dicari solusi agar masyarakat tak terus menerus termakan berita bohong tersebut. Pasalnya, berseliwerannya berita hoax tersebut sangat membahayakan bagi negara dan masyarakat.
Apapun alasannya berita hoax adalah bentuk informasi yang sangat membahayakan dan media arus utama harus terus berjuang menjadi peng-counter, agar masyarakat tidak terbius dengan berita bohong tersebut. Seperti diutarakan akademisi Komarudin Hidayat, bahwa berita hoax jika dibiarkan bisa membahayakan dan merugikan masyarakat.
Hoax merupakan manipulasi, kecurangan yang dapat menjatuhkan orang dan atau lembaga, termasuk pemerintahan. Hoax dimanfaatkan oleh orang yang ingin merusak pihak lain. Di situlah jahatnya.
Lalu bagaimana cara meyakinkan masyarakat bahwa itu adalah berita hoax, Ketua Masyarakat Indonesia Anti Hoax Septiaji Eko Nugroho mengatakan, berita hoax seringkali menggunakan judul sensasional yang provokatif. Isinya pun bisa diambil dari berita media resmi, hanya saja diubah-ubah agar menimbulkan persepsi sesuai yang dikehendaki sang pembuat hoax.
Itu makanya, jika menemukan berita dengan judul provokatif, sebaiknya mencari referensi berupa berita serupa dari situs online resmi, kemudian bandingkan isinya, apakah sama atau berbeda. Itu penting dilakukan setidaknya pembaca bisa memperoleh kesimpulan yang lebih berimbang.
Kemudian, kata Septiaji Eko, untuk informasi yang diperoleh dari website atau mencantumkan link, cermatilah alamat URL situs dimaksud. Apabila berasal dari situs yang belum terverifikasi sebagai institusi pers resmi -misalnya menggunakan domain blog, maka informasinya bisa dibilang meragukan.
Menurut catatan Dewan Pers, di Indonesia terdapat sekitar 43.000 situs di Indonesia yang mengklaim sebagai portal berita. Dari jumlah tersebut, yang sudah terverifikasi sebagai situs berita resmi tak sampai 300. Artinya terdapat setidaknya puluhan ribu situs yang berpotensi menyebarkan berita palsu di internet yang mesti diwaspadai.
Lalu, perhatikan pula dari mana berita berasal dan siapa sumbernya, termasuk perhatikan pula keberimbangan sumber berita. Jika hanya ada satu sumber, pembaca tidak bisa mendapatkan gambaran yang utuh.
Hal lain yang perlu diamati adalah perbedaan antara berita yang dibuat berdasarkan fakta dan opini. Fakta adalah peristiwa yang terjadi dengan kesaksian dan bukti, sementara opini adalah pendapat dan kesan dari penulis berita sehingga memiliki kecenderungan untuk bersifat subyektif.
Hebatnya lagi di era teknologi digital saat ini bukan hanya konten berupa teks yang bisa dimanipulasi, melainkan juga konten lain berupa foto atau video. Ada kalanya pembuat berita palsu juga mengedit foto untuk memprovokasi pembaca.
Cara untuk mengecek keaslian foto bisa dengan memanfaatkan mesin pencari Google, yakni dengan melakukan drag-and-drop ke kolom pencarian Google Images. Hasil pencarian akan menyajikan gambar-gambar serupa yang terdapat di internet sehingga bisa dibandingkan.(kominfo/kompas.com).
Tantangan dari platform digital
Tantangan lain yakni terkait keberadaan internet yang kini sedang menjadi dewa bagi kehidupan masyarakat keseharian.
Masyarakat saat ini sangat begitu mudah mendapat akses berita. Cukup dengan memiliki handphone mereka sudah bisa membuka sebuah berita. Namun, kecenderungan yang terjadi saat ini, masyarakat lebih menyenangi mengakses berita dari akun medsos seperti youtube, instagram, twitter, tiktok dll ketimbang membuka portal berita.
Fenomena ini juga menjadi tantangan besar bagi perusahaan peneribitan pers dan media online untuk terus mengimbangi posisinya dengan era digital saat ini.
Internet memang telah melahirkan platform digital atau media sosial. Kehadirannya cukup menganggu masa depan pers itu sendiri.
Banyak pers yang gulung tikar karena terdisrupsi perkembangan teknologi digital/internet. Namun tentu ini harus dijadikan sebuah tantangan terhadap pers di masa depan. Dimana nantinya, media harus mampu meng-konvergen, bahwa setiap perusahaan media harus memiliki tiga platform media sekaligus, yaitu siber, radio, dan televisi.
Dampaknya, wartawan harus memiliki kemampuan multi-tasking. Artinya, saat ini dan kedepan wartawan harus menjadi sosok yang serbabisa, mulai dari menjadi wartawan tulis, wartawan gambar/video juga wartawan audio. Ini menjadi sebuah kompetensi yang mau tak mau harus dihadapi. Jika wartawan tak mampu mengusasi tiga aspek itu maka jangan salahkan jika harus ketinggalan langkah.
Perlu juga diingat bahwa kekinian berita itu tergantung selera pasar. Masyarakat lebih menyenangi berita-berita yang viral di jagat medsos, seperti yang tersaji di chanel youtube, instagram, tiktok dll. Dampaknya saat ini posisi wartawan sudah mulai tergeser oleh keberadaan sosok konten kreator, pengisi berita viral tersebut.
Media online juga sudah mengubah arah penyajian beritanya, lebih cenderung mengikuti gaya berita medsos yakni berita viral. Kenapa demikian, karena dinilai berita viral lebih mendatangkan banyak pembaca hingga akhirnya akan lebih menguntungkan dari sisi finansial.
Lalu, apakah berita viral tersebut merupakan produk jurnalistik? Apakah konten kreator termasuk wartawan?Diharapkan Dewan Pers satu-satunya lembaga yang berwenang mengurusi nasib media, sejatinya dengan cepat dan tepat merumuskan sebuah formula untuk menegaskan bagaimana sebaiknya pers nasional mengubah wujudnya hingga menjadi sebuah lembaga pers yang bersesuaian dengan pers di era digital saat ini.***
Editor: denkur