Perkawinan anak salah satu masalah besar yang dihadapi bangsa ini, mengingat perkawinan anak berdampak pada seluruh aspek pemenuhan hak anak, termasuk gangguan bagi tumbuh kembang anak.
DARA – Demikian dikatakan Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak KemenPPPA, Agustina Erni.
Menurutnya, pelaksanaan kebijakan pencegahan perkawinan anak membutuhkan keterlibatan banyak pihak, yakni Kementerian/Lembaga, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota, termasuk mitra pembangunan lainnya untuk mendorong pemenuhan hak anak dan perlindungan anak.
Erni menjelaskan tugas dan fungsi KemenPPPA yakni melaksanakan 5 (lima) arahan Presiden, salah satunya mencegah perkawinan anak. KemenPPPA juga menjalankan program-program prioritas yang sejalan dengan arahan Presiden yang tercantum dalam Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
“Tujuan RPJMN 2020-2024 yakni meningkatkan sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing diantaranya memiliki target mengurangi perkawinan anak dari 10,44 % pada 2021 menjadi 8,74% pada 2024. Komitmen ini diikuti dengan diterbitkannya Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) 2020 yang dicanangkan Pemerintah pada Februari 2020, dengan tujuan untuk mengurangi perkawinan anak menjadi 6,9% pada 2030 untuk perempuan usia 20-24 yang menikah sebelum usia 18 tahun,” ujar Erni dalam Focus Group Discussion (FGD) Perencanaan Panduan Rekomendasi Dispensasi Kawin bagi Dinas PPPA secara daring, Senin (14/2/2022).
Erni menambahkan telah banyak upaya dilakukan dalam menghentikan praktik perkawinan anak, salah satunya adalah lahirnya kebijakan perundang-undangan yang sangat progresif yakni Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada tanggal 16 Oktober 2019, adalah bentuk komitmen Negara untuk melindungi anak.
“Selain itu, Mahkamah Agung secara progresif juga telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin. PERMA tersebut saat ini menjadi aturan dasar bagi para hakim yang mengadili perkara dispensasi kawin. Dalam implementasinya, Pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai pengampu yang membidangi urusan Perempuan dan Anak, banyak diminta oleh Pengadilan Agama untuk memberikan rekomendasi bagi pemohon dispensasi kawin,” ujar Erni, seperti dikutip dari laman resmi Kemen PPPA, Selasa (15/2/2022).
“Beberapa Dinas PPPA baik di provinsi dan kabupaten/kota telah menyusun SOP Pemberian Rekomendasi Permohonan Dispensasi Kawin namun belum ada acuan bersama, mengingat masih beragam serta masih berdasarkan perspektif layanan di daerah. Sehubungan dengan hal itu diperlukan adanya sebuah panduan bagi Dinas PPPA untuk memberikan rekomendasi dispensasi kawin yang sama pada semua daerah serta perlu sinkronisasi dengan SOP yang ada di daerah, sebagai langkah awal dalam menyusun sebuah panduan rekomendasi dispensasi perkawinan dalam meningkatkan pengetahuan pencegahan dan penanganan perkawinan anak. Hal ini juga sebagai pedoman dalam memberikan rekomendasi bagi pemohon dispensasi kawin, serta memberikan gambaran koordinasi penanganan kasus perkawinan anak,” tutur Erni.
Terkait dengan konsepsi panduan rekomendasi dispensasi kawin, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Rita Pranawati mengungkapkan dispensasi kawin merupakan kewenangan pengadilan untuk memutuskan apakah sebuah permohonan dispensasi kawin dapat dikabulkan atau tidak.
Hakim menjadi sumber daya manusia yang akan menentukan proses peradilan permohonan dispensasi kawin tersebut. Upaya penanganan permohonan dispensasi kawin yang dapat dilakukan adalah pendampingan sebelum permohonan dispensasi kawin dilakukan dengan memberikan rekomendasi kondisi anak yang dimohonkan.
Hal ini sesuai dengan amanah dari Peraturan Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2019 bahwa Psikolog, Pekerja Sosial dari lembaga layanan yang ditunjuk dapat memberikan rekomendasi dalam dispensasi, dipertegas oleh Direktur Pembinaan Administrasi MA, Ibu Nur Jannah. Hal penting lainnya ditambahkan beliau bahwa terkait pandangan masyarakat bahwa jika yang dimohonkan telah hamil, Pengadilan Agama tidak serta merta akan mengabulkan permohonan, jadi tidak ada alasan harus hamil dulu jika ingin dikabulkan, dan terkait anak yang dilahirkan akan diberikan hak identitas oleh pengadilan.
“Adapun rekomendasi tersebut berisi kondisi anak secara umum dan kondisi psikologisnya yang dapat memberikan gambaran bagi hakim yang memutuskan perkara tersebut. Penanganan dampak dispensasi kawin juga dapat dilakukan pada saat permohonan dispensasi kawin diputuskan. Ketika permohonan dispensasi kawin ditolak, maka unit layanan perempuan dan anak dapat memulihkan kondisi anak, termasuk memulihkan hak anak seperti hak pendidikan, bersosialisasi kembali dengan teman sebaya dan masyarakat. Dalam SOP ini memuat tugas lembaga layanan dalam upaya pencegahan dan penanganan perkawinan anak melalui dispensasi kawin. Lembaga layanan dalam hal ini adalah Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) dan Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA). Kedua lembaga layanan tersebut dapat menjalankan fungsinya untuk pendampingan dan berkoordinasi demi terpenuhinya hak anak mulai dari menjelaskan upaya pencegahan sebelum terjadinya perkawinan usia anak serta penanganan pasca keputusan permohonan dispensasi kawin, upaya perlindungan di bidang perlindungan anak, kesehatan, tanggung jawab pemerintah desa dan bidang agama,” kata Rita.
Sementara itu, terkait dengan praktik baik yang telah dilakukan di daerah, Kepala Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Kab. Rembang, Budi Setiasih dan Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Jawa Tengah, Retno Sudewi menyampaikan dan menceritakan apa yang sudah dan akan terus dilakukan oleh keduanya dalam upaya pencegahan dan penanganan perkawinan anak utamanya dalam pelaksanaan dispensasi kawin.
Dinas PPPA Provinsi Jawa Tengah telah melakukan upaya pencegahan melalui inisiasi Jo Kawin Bocah sebagai gerakan dan ajakan bagi masyarakat termasuk di Jawa Tengah untuk mencegah dan menangani perkawinan anak sebagai upaya pendewasaan usia perkawinan dalam rangka pemenuhan hak anak di Jawa Tengah.
Kegiatan Jo kawin Bocah ini juga dilakukan untuk mencegah dampak perkawinan anak seperti kesehatan (angka kematian ibu dan stunting), kualitas sumber daya manusia di masa depan, kasus perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga, serta agenda pembangunan yang terhambat.
Program Jo Kawin Bocah ini juga meliputi upaya pencegahan, penanganan melalui rekomendasi dan penanganan pasca putusan pengadilan agama. Sedangkan untuk Dinsos PPPAKB Kab. Rembang, program yang telah dilakukan salah satunya melalui PUSPAGA SAMARA yang melakukan MoU dengan Pengadilan Agama tentang pelaksanaan pembinaan dan edukasi bagi calon pemohon dispensasi nikah dengan bantuan dari tenaga kesehatan, psikolog, tenaga pendidikan, dan fasilitator keluarga.
Editor: denkur | Sumber: Kemen PPPA