Para perempuan berpenampilan lembut tetapi garang di medan pertempuran sepertinya bukan dominasi perempuan Eropa atau di negeri Arab. Indonesia sejak zaman kerajaan hingga perjuangan kemerdekaan tak sedikit, kaum perempuan yang mengangkat senjata dan berjibaku di medan tempur.
Setidaknya ada tiga nama Srikandi Indonesia yang menjadi legenda. Baik di lingkungan pasukanya maupun di dunia internasional. Ketiga nama itu, Laksamana Keumalahayati, Cut Nyak Dien, dan Nyi Ageung Serang.
Ketiga nama tersebut menjadi perbincangan di kalangan para musuh, seperti Portugis, Kesultanan Turki dan Belanda.
Laksamana Keumalahayati – Malahayati panggilan akrab Keumalahayati, meraih pangkat laksamana bukan hadiah ataupun kehormatan. Tetapi pangkat tersebut diraih dengan menempuh pendidikan akademi milter di masa itu.
Boleh jadi pangkat laksamana ini untuk perempuan sebagai yang pertama di dunia. Nama asli Laksamana Malahayati adalah Keumalahayati. Dia keturunan dari seorang yang berpangkat laksamana pula yakni Laksamana Mahmud Syah. Bahkan sang kakek pun seorang laksamana yaitu Laksamana Said Syah. Sang kakek Laksamana Malahayati adalah putra Sultan Salahudin Syah yang memimpin Kesultanan Aceh Darussalam pada tahun 1530 – 1539 M.
Sedang kakek buyut Laksamana Malahayati adalah Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah, yaitu sebagai pendiri Kesultanan Aceh Darussalam.
Laksamana Malahayati berdarah biru dan berjiwa bahari. Selain berketurunan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam, tempaan keluarga membentuk Keumalahayati menjadi sosok perempuan yang tegas dan cerdik saat memimpin pertempuran laut, juga dia dikenal sebagai negosiator tangguh dan seorang diplomat yang sangat sulit terpatahkan.
Karir kepemimpinanya diawali seusasi rampung mengikuti pendidikan ilmu agama di Meusah, Rangkang dan Dayah Keumalahayati mendaftarkan diri ke Akademi Militer Kesultanan Aceh Darussalam yaitu Askary Beitul Makadess, yang berarti Prajurit Tanah Suci. Namun nama tersebut lebih dikenal hingga ke belahan benua lain seperti Eropa sebagai Askar Baitul Makdis.
Konon akademi militer ini didirikan oleh Prajurit Kekhalifahan Turki Ustmani yang dikirim ke Aceh Darussalam oleh Sultan Salim II untuk membanrtu menghadapi Portugis.Di Akademi Militer inilah Malahayati bertemu dengan seniornya yang kemudian menjadi suaminya.
Selepas menyelesaikan pendidikan di akademi militer itu Malahayati di tempatkan sebagai Komandan Protokol Istana Kesultanan Aceh Darussalam. Bersamaan dengan itu, terjadi pertempuran sengit di Teluk Haru antara Aramada Kesultanan Aceh Darussalam dengan Portugis.
Armada Kesultanan Aceh dipimpin Sultan Alaudin Ri’ayat yang dibantu dua laksamana, salah satunya adalah suami Malahayati. Meski memenangkan pertempuran itu, namun Armada Kesultanan Aceh Darussalam kehilangan dua laksamananya termasuk suami Malahayati gugur bersama puluhan prajurit lainya.
Sejak pertempuran yang menbewaskan suaminya itu, Laksamana Malahayati meminta ijin kepada sultan untuk membentuk pasukan dan armada Kesultanan Aceh dengan prajuritnya seluruhnya perempuan, termasuk para janda yang suami gugur dalam pertempuyran laut. Sultan menyetujuinya dan mengangkat Malahayai sebagai laksamana atau admiral dengan anggota pasukan sebanyak 2000 orang dengan kapal (galey) sebanyak 100 kapal.
Armada dibawah komando Laksamana Malahayati ini disebut Armada Inong Bale. Pasukan termasuk armada Inong Bale berpangkalan di Teluk Lamreh Krueng Raya. Untuk pertahanan Laksamana Malahayati di sini membangun benteng di daerah perbukitan sekitar teluk.
Armada Inong Bale sangat termashur setelah menggempur habis armada Angkatan Laut Belanda dan Portugis di abad 16 M itu. Keberanian dan daya juang Malahayati tidak bisa dilepaskan dari keluarganya yang merupakan bangsawan Aceh. Kakeknya bernama Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah Kesultanan Aceh pada 1530-1539.

Cornelis de Houtman, bersama armadanya sebagai penjelajah Belanda pertama yang tiba di Indonesia, menjadi salah seorang yang tahu betul rasanya dihajar pasukan Malahayati. Armada dibawah komando Cornelis de Houtman ini pada tahun 1599 mencoba menggoyang Kesultanan Aceh Darussalam. Tetapi gagal setelah dihajar habis oleh armada Inong Bale. Armada Cornelis de Houtman porak poranda dan terbirit birit meninggalakan prajuritnya yang gugur di medan tempur baik darat maupun di laut.
Bukan hanya pasukan Belanda, Pasukan Portugis pun merasakan kehebatan gempuran armada Ining Bale ini. Portugis mencatat kekalahan dalam menghadapi pasukan Aramada Malahayati.
Perjuangan Laksamana Malahayati untuk mempertahankan kejayaan laut Kesultanan Aceh Darussalam harus terhenti di tahun 1606. Laksamana peertama di dunia Malahayati gugur saat bertempur melawan pasukan Portugis di Perairan Selat Malaka. Pertempuran dengan Portugis itu sebagai pertempuran kedua setelah pada pertempuran pertama Portugis dipukul mundur oleh pasukan Inong Bale.
Jasad Laksamana Malahayati dimakamkan di lereng Bukit Lamkuta, Banda Aceh. Presiden Joko Widodo menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada almarhumah Laksamana Malahayati.
“Biliau seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh, dan tidak bisa terpisahkan dari perjalanan panjang sejarah Indonessia,” kata Joko Widodo.***
Dicuplik dari Buku “Jifara” Penulis R Armando