OLEH: Sabpri Piliang
WARTAWAN SENIOR
SECARA aksioma. Seluruh “nation state” (negara bangsa), saat ini sangat malu dan telah dipermalukan. Malu kepada bangsanya sendiri, dan malu kepada 8,2 milyar lebih penduduk dunia. Bahkan, “malu” kepada para korban yang telah meninggal. Tragedi Gaza adalah sebentuk pembiaran!
Tak perlu di sangkal, dan tak perlu dibuktikan. Kasus Gaza, sangat “telanjang”. Pemboman demi pemboman. Kematian demi kematian setiap hari. Angka 10, 20, 40, 90, 100, korban “random sampling”, dan hukum kolektif diterapkan Israel. Alih-alih mengejar Hamas, Korban sipil terus berjatuhan.
Kematian tak menggerakkan naluri kemanusiaan, atas perlindungan masyarakat sipil seperti tertera di piagam PBB.
Kukuh menyebut mengejar Hamas. Siapakah yang bisa menghentikan sepak-terjang Israel? Hamas yang memulai. Tokh, hampir semua pemimpin Hamas telah “dipulangkan”, dihabisi. Bolehlah memakai bahasa ala Israel, “telah dihukum”: Yahya Sinwar, Ismail Haniyeh, Mohammad Deif, Marwan Issa, Saleh Ar-Aroury.
Apakah pantas dunia terus, hanya menonton dan menghimbau? Sementara yang dihimbau jalan terus, tak ada rasa takut diberi sanksi. Adakah cara lain, selain himbauan untuk menghentikan ini semua?
Pertanyaan di benak dunia juga terus menggelayut, apakah dari 43.000 korban, 40.000-nya adalah anggota Hamas, 3.000 lainnya wanita dan anak-anak sipil? Atau sebaliknya 40.000 wanita-anak, 3000 anggota Hamas?
Tudingan Hamas memanfaatkan tenda pengungsian sebagai tempat bersembunyi, telah memakan 43.000 lebih korban. Bisa jadi ada anggota Hamas yang diburu di sana. Tapi, percayakah dengan asumsi itu? Semua memunculkan spekulasi. Betul anggota Hamas ada, atau sekadar pembelokkan untuk melakukan genosida. Entahlah.
Yang pasti juga adalah, ratusan “journalist” telah tewas, atau ditewaskan. Perwakilan TV Al-Jazeera di Tepi Barat, sudah diperintahkan tutup dalam tempo sekian hari. Informasi menjadi sulit didapatkan. Gaza seperti “ladang kematian”, yang sulit dikonfirmsi.
Yang terbaru, Israel lewat sidang Parlemennya (Knesset) kemarin (Senin). Telah melarang Kerjasama bantuan kemanusiaan lewat badan PBB (UNRWA). UNRWA (United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in Near East) adalah satu badan PBB yang didirikan tahun 1949. Untuk membantu pengungsi Palestina pasca-kemerdekaan Israel.
Dengan asumsi banyak staf UNRWA terafiliasi dengan Hamas. Lalu, terakhir muncul tuduhan baru, UNRWA lebih membela Hamas ketimbang Israel. Menyusul ratusan staf anggota UNRWA terbunuh oleh peluru Israel.
Hamas, dengan sandi “Banjir Al-Aqsa”, betul yang memulainya 7 Oktober 2023. Dari sinilah bencana kemanusiaan datang. Banyak yang menyalahkan Hamas. Namun semua itu disebabkan oleh “ketidakadilan historis”, sejarah panjang yang penuh penderitaan bagi rakyat Palestina.
Peristiwa Gaza, atau lebih mudah disebut tragedi Gaza. Adalah representasi zaman kegelapan di era modern, bahkan “post-modern”. Tak ada jeruji, tak ada penjara, tak ada gembok pembatas antara keadilan-ketidakadilan, kemanusiaan-kehewanian.
Belenggu dan penyesatan informasi, telah memudahkan tindakan sadis peperangan Gaza. Meskipun begitu, ada saja informasi yang bocor. Dalam wawancara dengan CNN (dikutip New Arab), pekan lalu, seorang operator buldozer militer Israel, Guy Zaken mengaku. Telah melindas warga Palestina, baik hidup maupun yang sudah mati.
Menyebut teroris, dalam kesaksiannya di depan Knesset (Parlemen) Israel. Dia tidak bisa lagi makan daging, setelah melihat daging dan darah warga Palestina (Hamas) muncrat sesudah dilindas dengan Buldozer. Bahkan sulit untuk tidur. Model seperti ini, juga terjadi saat perang 1967, ketika sejumlah tentara Mesir yang ditawan. Dilindas dengan tank.
Sadis memang. Tragedi Gaza, telah membuat 8,2 milyar penduduk dunia malu dan dipermalukan. Dipermalukan karena tidak bisa berbuat apa-apa, tak bisa memberi sanksi, tak bisa memberi hukuman.
Tidak ada lagi Perserikatan Bangsa Bangsa. Tidak ada lagi Dewan Keamanan PBB (Security Council), yang biasanya akan bertindak untuk mengakhiri kesewenang-wenangan (disorder), tak ada lagi peradilan internasional untuk kejahatan perang.
Dunia kini dalam kebingungan. Tindakan apa yang tepat untuk mengakhiri “perang gila”, yang sebenarnya sudah ada “raw model” untuk menghentikannya. Tapi semua kelu, beku, dan ‘alzheimer’. Sementara korban terus berjatuhan. Berpihaklah, tapi batas berpihak itu telah melebihi ‘ambang’.
Saat ini, bukan lagi soal siapa berpihak kepada siapa. Daya tahan penduduk Gaza telah melewati batas kemampuan manusia. Uni Eropa nampaknya, sudah mulai hilang kesabaran. Bahkan Utusan Amerika Serikat untuk PBB Linda Thomas Greenfield mengingatkan. “Perkataan dan tindakan riil di lapangan harus sesuai”.
Inggris, sebagai sponsor terbentuknya negara Israel di Tanah Palestina (Deklarasi Balfour), ikut gemas dengan sikap Parlemen Israel (Knesset). PBB bahkan tegas menyebut UU Nasional Israel tidak bisa menggagalkan hukum Internasional menyangkut bantuan kemanusiaan lewat Badan PBB UNRWA di Gaza.
Negara-negara Eropa lain yang juga sudah merasa “malu” atas dilanggarnya hukum Internasional: Spanyol, Slovenia, Irlandia, dan Norwegia bahkan, membuat komunike bersama. Seperti dikutif Penulis dari Harian The Guardian (Inggris), mengutuk larangan Israel, sekaligus memperingatkan.
“Ini adalah preseden yang sangat serius bagi pekerjaan PBB dan semua organisasi dalam sistem multilateral”.
Nampak, batas “malu” dan tersinggung dunia, mulai membuncah. Harga PBB dan peradilan internasional menjadi tak ada lagi. Menjadi preseden, dunia mulai memasuki zaman “Batu”, zaman kegelapan.
Bila tak ada kekuatan berwibawa untuk mencegah keterlanjuran Israel terhadap penduduk sipil Gaza. Maka kebenaran akan dikalahkan oleh kekeliruan yang terlanjur.aa