Oleh: Drs H Djamu Kertabudi, Msi (Penulis: Pengamat Politik dan Ilmu Pemerintahan Bandung)
Format Pemerintahan Daerah berdasarkan UU No23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, menunjukan bahwa DPRD dan kepala daerah berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang diberi mandat untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah.
Maka DPRD dan kepala daerah berkedudukan sebagai mitra sejajar yang memiliki fungsi berbeda, sehingga relasi pemerintahan kedua lembaga ini bersifat horizontal atau setara.
Disamping itu, dalam konteks yang berbeda wewenang kepala daerah selain bersama DPRD dalam menjalankan kewenangan daerah terdapat pula kewenangan yang dilahirkan melalui proses pendelegasian wewenang presiden kepada kepala daerah.
Antara lain, berdasarkan PP No. 17 Tahun 2020 tentang Manajemen PNS, bahwa presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan kepegawaian mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada gubernur/bupati/walikota dalam pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS.
Maka, kepala daerah nemiliki kapasitas sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Dengan format pemerintahan daerah seperti ini, maka manakala ada istilah yang digunakan pihak DPRD untuk “memanggil” kepala daerah dalam pembahasan apapun, menjadi tidak tepat .
Apalagi dalam Undang Undang yang sama, gubernur/bupati/walikota berwenang memimpin dan nenjalankan urusan pemerintahan umum yang bernuansa kebangsaan dan kenegaraan, sehingga berstatus pejabat negara. Lain halnya DPRD yang berstatus pejabat daerah.
Akhir-akhir ini memang banyak pertanyaan dari kalangan publik sampai muncul diskursus di acara diskusi terbatas tentang rotasi mutasi (romut) di Pemda Bandung Barat.
Hal ini dipicu oleh komentar dari pihak Ketua DPRD KBB melalui media, atas digelarnya seleksi terbuka atau lebih dikenal dengan “open bidding” oleh Pemda KBB dalam rangka pengisian kekosongan beberapa jabatan Pimpinan Tinggi Pratama (eselon II) yang sudah cukup lama mengalami kekosongan karena pejabat pimpinan OPD tertentu menjalani pensiun.
Inti dari dinamika yang berkembang bermuara pada sebuah pertanyaan “sejauh mana peran DPRD dalam proses Romut yang dijalankan oleh Pj. Bupati KBB ?”.
Dengan demikian, dalam menjalankan wewenangnya khususnya berkaitan dengan seleksi terbuka rencana pengisian kekosongan Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama. Bagi Pj Bupati harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Mendagri.
Baru setelah mendapat persetujuan Mendagri dapat diselenggarakan seleksi terbuka sesuai dengan yang disyararkan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.
Kemudian setelah proses seleksi terbuka rampung, disampaikan kepada Badan Kepegawaian Negara (BKN) guna dilakukan penelitian sebagaimana mestinya untuk diterbitkan pertimbangan teknis (Pertek) sebagai dasar penetapan SK Bupati Tentang Pengangkatan Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama.
Selanjutnya dilakukan pelantikan oleh Bupati. Dan tembusan SK Bupati tersebut dapat disampaikan kepada Pimpinan DPRD.
Adapun yang berkaitan dengan peran DPRD dalam konteks Romut ini bersifat pasif, karena kewenangan pembinaan Kepegawaian tidak termasuk kewenangan daerah sebagaimana dijelaskan diatas.
Namun demikian, manakala dewan menerima informasi, temuan, ataupun pengaduan masyarakat yang berkaitan isu yang perlu diklarifikasi, maka dewan perlu mengundang pihak mitra kerja komisi dalam hal ini pimpinan SKPD terkait dalam rapat komisi sesuai dengan bidang garapannya.
Adapun pimpinan SKPD yang berkaitan dengan pembinaan kepegawaian ini yang tergabung dalam Tim Penilai Kinerja (TPK) yang terdiri dari Sekda (Ketua), Ka BKPSDM, para Assisten dan Inspektur sebagai anggota.
Karena materi pembahasan berkait wilayah teknis administratif, maka tidak perlu Pj. Bupati diundang.
Dari sejak awal terbentuknya KBB sampai saat ini selalu diwarnai kegaduhan yang seharusnya dapat diantisipasi semestinya. Wallohu A’lam.***
Editor: denkur