Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) dan Society of Indonesian Science Journalist (SISJ) menyelenggarakan Webinar dengan topik Bencana, Cuaca Ekstrem, dan Perubahan Iklim.
DARA – Webinar ini digelar karena selama tahun 2021 Indonesia terus diguyur hujan yang akhirnya menyebabkan rangkaian bencana hidrometeorologi di seluruh Indonesia.
Webinar digelar Sabtu, 18 Desember 2021 secara daring melalui Zoom Cloud Meeting dan dapat ditonton ulang di kanal YouTube SISJ.
Menghadirkan para narasumber yaitu Plt Deputi Klimatologi BMKG Dr Urip Haryoko dan Peneliti Riset dan Teknologi Atmosferik pada Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa (OR PA/LAPAN) BRIN Dr Erma Yulihastin, dan dipandu oleh Sekjen SISJ Dewi Safitri.
Jurnalis yang meliput berita bencana kerap menempatkannya sebagai isu terpisah dari fenomena iklim, sehingga webinar ini dimaksudkan agar para jurnalis yang meliput fenomena bisa meningkatkan kualitas jurnalistik dalam melaporkan isu bencana dan iklim pada masyarakat.
Ochi mengharapkan kegiatan yang berlangsung tersebut bisa memberikan manfaat kepada semua teman-teman jurnalis terutama dalam hal menyampaikan informasi kepada masyarakat.
“Salah satu Pekerjaan Rumah (PR) yang kita semua atau teman-teman media tahu ini adalah tentang bahasa yang digunakan oleh peneliti atau ilmuwan. Nah kita harus bisa membahasakan bahasa tersebut menjadi bahasa yang mudah dimengerti oleh publik, karena publik yang membaca, bukan kita, bukan juga para ilmuwan,” kata Ochi, seperti dikutip dara.co.id dari laman resmi Lembaga Penerbangan dan Anatariksa Nasional (LAPAN), Senin (20/12/2021).
Urip Haryoko sebagai pembicara pertama menjelaskan tentang perubahan suhu yang terjadi dengan mengutip pernyataan dari beberapa pakar seperti Petteri Taallas yang menyatakan bahwa rata-rata suhu global di tahun 2020 akan meningkat atau sudah diset di atas 1,2 derajat celcius pada level pra-industri (1850-1900).
“Setidaknya ada satu dari lima peluang bisa terjadi pada tahun 2024 di mana suhu rata-rata bumi akan mengalami kenaikan sekitar 1,5 derajat celcius,” jelas Urip.
“Adapun Syukur Wanabe yang menemukan bahwa tingginya suhu di atmosfer bagian bawah sangat dipengaruhi oleh CO2 (Karbon Dioksida) sementara atmosfer di atas akan lebih dingin. Sedangkan Klauss Hasselmann mengembangkan suatu metode penyebab dari pemanasan atmosfer, apakah ini diakibatkan oleh sumber daya alam atau manusia,” imbuhnya.
Selain itu, Urip juga menjelaskan tentang faktor iklim Indonesia, pengamatan perubahan iklim, perubahan iklim global di Indonesia, proyeksi iklim, dan frekuensi peristiwa ekstrim.
Pembicara berikutnya, Erma Yulihastin menjelaskan tentang Intertropical Convergence Zone (ITCZ), yaitu terdapat satu garis yang merupakan garis konvergensi. “Garis konvergensi artinya adalah disepanjang garis itu adalah sistem tekanan rendah, bisa dikatakan sebagai sabuk yang melingkar di bumi, yang membentang dari Samudra Hindia dan Samudra Pasifik dan harusnya hanya ada satu dan nantinya itu akan bergeser sesuai dengan posisi semu Matahari,” kata Erma.
Erma juga memperlihatkan sebuah gambar data kelembaban bulan November 2021 yang merupakan hasil pengamatan satelit dimana hasil pengamatan satelit ini menunjukkan informasi telah terjadi ITCZ ganda di bagian barat dan bagian selatan yang membentuk seperti pola “Tapal Kuda” (Gill Pattern) yang secara teori menunjukkan wilayah pertemuan gelombang atmosfer Mixed Rossby-Gravity Wave (MRG).
Efek dari adanya Gill Pattern yang terjadi di bagian barat-selatan Indonesia menunjukkan bahwa curah hujan secara luas meningkat di Samudera Hindia barat daya Jawa, laut Jawa, dan Pulau Jawa.
Faktor utama meningkatnya hujan kawasan barat Indonesia selama bulan November 2021 bahkan berlanjut hingga pertengahan Desember 2021 adalah karena dinamika vorteks di Samudra Hindia dan Laut Jawa.
Dinamika menguat dan melemahnya vorteks di perairan barat Indonesia tersebut berasosiasi dengan aktivitas gelombang atmosfer ekuator (Kelvin dan Rossby) yang terjadi sangat intensif selama bulan November.
Maraknya pembentukan vorteks di Laut Jawa dan Samudra Hindia tersebut pada awalnya dipicu oleh keberadaan ITCZ ganda (utara dan selatan) yang kemudian terhubung melalui jembatan “tapal kuda” sebagai indikasi pertemuan antara gelombang Kelvin dan gelombang Rossby.
Erma juga menyinggung tentang fenomena La Nina yang terjadi pada November. “Pada november itu baru “start” setelah tanggal 10. Kita bisa menyebut itu La Nina ketika hal tersebut terjadi minimal secara konsisten 3 bulan berturut-turut. Jika belum stabil, belum bisa dikatakan bahwa itu La Nina,” tegasnya.
Inisial La Nina baru terjadi pada November 2021, yang diprediksi terjadi secara singkat (short term), sebab peluang terbentuknya La Nina semakin menurun dan berada pada nilai yang sama dengan kondisi netral pada Maret-April.
Meskipun demikian, kontrol utama anomali cuaca saat ini dan selama musim hujan adalah intensifikasi aktivitas berbagai gelombang di atmosfer yang menjalar dari barat-timur atau timur-barat dan dapat saling bertemu sehingga berpotensi membangkitkan kejadian ekstrem baik di atmosfer maupun di laut sebagai contoh gelombang badai pada 6-7 Desember 2021. Setelah pemaparan dari dua narasumber selesai, webinar dilanjutkan dengan sesi tanya jawab bagi para peserta yang hadir.
Editor: denkur | Sumber: LAPAN