OLEH: Sabpri Piliang
WARTAWAN SENIOR
HARI-hari tersulit bagi Volodymyr Zelensky. Adalah hari-hari jelang pelantikan Presiden AS terpilih, Donald Trump.
Hari-hari di mana ada kecenderungan, AS akan mengurangi bantuan militernya ke Ukraina, setelah suksesi selesai. Tersirat dalam pandangan Donald Trump, percuma meneruskan peperangan yang telah berjalan memasuki tahun ke-3. Rusia akan nekad, dan tak mungkin bisa dikalahkan.
Trump yang akan dilantik 20 Januari 2025 mendatang telah berkomunikasi dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin, agar menurunkan tensi peperangan. Putin setuju memenuhi permintaan Trump untuk mengakhiri peperangan Rusia-Ukraina, dengan syarat yang “sangat sulit”. Sulit, menyangkut dua hal fundamental. NATO dan aneksasi.
Tak ada yang merasa lebih kuat. Tak ada yang merasa lebih lemah. Putin tidak merasa diancam, dan Trump tak merasa mengancam.
Baik Trump, maupun Putin, keduanya memiliki kharisma khusus di mata publik kedua negara. Juga secara inklusif, keduanya mempunyai ‘aura’ dan ‘kegagahan’ sebagai pemimpin yang tak bisa dikalahkan.
Dari pembicaraan via telepon, seperti ada kesadaran dari Presiden terpilih AS ini, untuk mengajak Vladimir Putin menjamin stabilisasi kawasan Eropa.
Syarat-syarat yang diajukan untuk sebuah “harga” menghentikan perang, sangat sulit. Donald Trump bukanlah Joe Biden, dan Vladimir Putin bukanlah Boris Yeltsin. Untuk menyebut sosok yang mereka gantikan. Tanpa karakter spesial.
Presiden AS (saat ini), memiliki kekuatan sebagai negeri adidaya. Joe Biden, adalah Presiden dengan kekuatan berdasarkan ‘posisional’, dan mampu memberi ganjaran serta hukuman kepada negara-negara yang dianggap mengganggu kepentingan AS. Posisi Biden adalah Presiden AS.
Karena Rusia dianggap. Mengganggu kepentingan AS untuk memperluas pengaruh geopolitik-nya di negara-negara mantan Uni Soviet (baca:Rusia). Maka AS membantu Ukraina.
Keinginan Ukraina menjadi anggota Pertahanan Atlantik Utara (NATO) bagi AS adalah final. Sementara, mencegah Ukraina memasuki gerbang ‘garis merah’ (NATO) untuk Rusia, juga final. Semasa Pemerintahan Joe Biden, idiom itu terus berlaku.
Ukraina yang terletak di halaman depan Rusia, membuat negeri Beruang Merah ini “nekad” mempertahankan peta geopolitik “in group”nya. Tak ada tawar-menawar. Menyerahkan Ukraina menjadi anggota NATO, sama saja menyerahkan leher Rusia untuk disembelih secara perlahan.
Apalagi, sejumlah “in group” Rusia di masa sebelum “Perang Dingin” berakhir (baca: Uni Soviet 1990-an), seperti: Polandia, Bulgaria, Rumania, Republik Ceko, Slowakia, Albania, dan tiga negara Baltik ex-Uni Soviet (Estonia, Latvia, dan Luthuania), semua telah menjadi bagian dari 32 anggota NATO.
Namun tidak untuk Ukraina dan Belarus. Keduanya tidak sama dengan Bulgaria, Polandia, Hongaria, Rumania, Slowakia yang secara geografis bukan di halaman muka Rusia. Menjadi “out group” Rusia? Silahkan! Tidak berdampak langsung terhadap Rusia.
Sulit bagi Ukraina memaksa masuk ke dalam NATO. Terlebih bila tanpa bantuan finansial dan militer AS (Barat). Ukraina yang memiliki luas 603.628 kilometer persegi, serta 33 juta penduduk ini, tak akan mampu melawan Rusia. Ukraina bukan apa-apa bagi Vladimir Putin.
Ukraina Pasti gamang. Jelang berakhirnya serah terima Pemerintahan Joe Biden kepada Donald Trump yang tersisa dua bulan lagi. Ukraina kini berpacu dengan waktu. Kebijakan Trump dan Biden menyangkut bantuan militer dan finansial ke Pemerintahan Presiden Velodymyr Zelenski, tidak akan sama.
Langgam Donald Trump dan Vladimir Putin yang tidak hanya berdasarkan kekuatan “posisional”. Namun lebih kepada kutub yang sama, kekuatan “character personal” (pribadi), menjadikan penyelesaian krisis Rusia-Ukraina, bisa berakhir positif di tangan Trump. Tentu, menjadi kerugian bagi Ukraina.
Ukraina, tak ingin ini terjadi. Karena itu, sisa transfer dan bantuan senjata senilai 6 milyar dolar AS (6 milyar USD), atau (£ 4,6 milyar) dari Pemerintahan Joe Biden (Gedung Putih) untuk Ukraina. Harus dikebut secepat mungkin.
Donald Trump bisa saja menunda transfer kepada Ukraina, dengan imbalan Rusia menghentikan serangan, dan maju ke meja perundingan.
Satu hal yang dikhawatirkan Ukraina adalah, terjadinya ketidaksepakatan antara Joe Biden dengan Donald Trump untuk terus menambah bantuan pasca-20 Januari 2025.
Logika berpikir Trump, percuma “buang-buang uang”, karena Rusia tak akan kalah. Juga tidak akan mengalah menyangkut keanggotaan NATO Ukraina.
Logika Trump, saat Rusia membiarkan secara damai negara mantan Uni Soviet: Luthuania, Latvia, Estonia, dan Moldova menjadi anggota NATO, adalah logika sederhana. Bahwa perginya mereka, bukanlah ancaman bagi geopolitik Rusia.
Karena itu, sebagai pengamat, saya mengatakan. Logika Trump, akan berbeda dengan logika Biden. Trump tidak akan lagi mendorong agar Ukraina masuk menjadi anggota NATO.
Trump juga tidak akan memaksa Rusia untuk mengembalikan Semenanjung Krimea yang memiliki nilai historis bagi Uni Soviet saat Perang Dingin berlangsung. Secara terburu-buru. Pembicaraan nasib Krimea, bakal berjalan “long term” dan sulit. Sementara, untuk tiga wilayah yang di-aneksasi lainnya, jauh lebih mudah.
Sepertinya perundingan penghentian peperangan untuk jangka pendek, hanya menyangkut pengembalian wilayah: Luhanks, Donetks, dan Kherson saja.
Walau klaim ketiga wilayah Ukraina yang diduduki Rusia ini (sepertihalnya Krimea), tak bisa dirundingkan. Alias “harga mati” akan diduduki selamanya oleh Rusia. Saya yakin. Sikap Putin masih bisa lentur.
Donald Trump, paham betul, siapa yang dia hadapi. Vladimir Putin, juga paham siapa yang akan dia hadapi. Kesamaan karakter dan populisme keduanya, akan lebih mudah membawa penyelesaian konflik Rusia-Ukraina.