Perempuan Harus Berperan dalam Pengambilan Kebijakan

Rabu, 26 Januari 2022

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga (Foto: Kemen PPPA)

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga (Foto: Kemen PPPA)

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengatakan, saat ini keterwakilan perempuan pada Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di 25 kabupaten/kota telah melebihi target 30 persen di Pemilihan Umum Legislatif 2019.


DARA – Tak hanya itu, saat ini Indonesia memiliki 6 (enam) menteri perempuan dalam Kabinet Indonesia Maju.

“Meskipun demikian, bukan berarti kita dapat berpuas diri. Keterwakilan perempuan di DPR Republik Indonesia belum mencapai target. Begitu pula kepemimpinan perempuan di tingkat daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Perempuan yang menjadi pemimpin di tingkat desa pun masih rendah,” ujar Menteri Bintang, dalam Webinar Keperempuanan ‘Martabat dan Perjuangan Perempuan dalam Perspektif Sejarah, Agama dan Budaya’, secara virtual, Senin (24/1/2022).

Lebih lanjut, Menteri Bintang menuturkan, kuota keterwakilan perempuan tidak akan efektif jika pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan politik serta kesetaraan gender perempuan masih minim.

“Untuk itu, selain mengejar angka, kita juga perlu mempersiapkan para perempuan, untuk benar-benar mampu mengambil peran dan mempengaruhi pengambilan kebijakan, program, dan keputusan yang berperspektif gender,” lanjut Menteri Bintang, seperti dikutip dari laman resmi Kemen PPPA, Rabu (26/1/2022).

Menurut Menteri Bintang, dari masa ke masa perempuan memang memiliki peranan yang kuat dalam sejarah, bahkan sebelum Indonesia meraih kemerdekaan. Tidak hanya menjadi pemimpin di berbagai daerah, tetapi perempuan juga turut berjuang dalam melawan penjajah.

“Sejarah membuktikan, jauh sebelum Indonesia merdeka, peran, dan kedudukan perempuan nyatanya tidak dapat dipisahkan dari kemakmuran kawasan nusantara, dimulai dari keluarga, hukum per-ibu-an berlaku di sebagian besar jazirah Sumatera. Selain itu, berbagai kerajaan di wilayah nusantara juga dipimpin oleh perempuan, di Kesultanan Aceh, Kerajaan Bone Sulawesi, Kerajaan Jepara, hingga Kerajaan Kalingga,” jelas Menteri Bintang.

Tidak hanya itu, perempuan juga berperan dalam merumuskan Konstitusi bangsa pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

“Perjuangan Ibu Mariah Ulfah Santoso, menteri perempuan pertama dalam sejarah Indonesia untuk mencapai kesetaraan dan menjadi advokat bagi kaum perempuan, telah terwujud dalam Pasal 27 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,” tegas Menteri Bintang.

Namun demikian, potensi yang dimiliki oleh perempuan, justru terhalang oleh kondisi bias gender. Otoritas pemimpin perempuan pun digerogoti oleh pesaing politik dengan anggapan perempuan tidak layak memimpin, termasuk adanya perampasan hak perempuan pada masa kolonial.

“Kesenjangan nyata dan pelanggaran luar biasa terhadap hak asasi perempuan ini lah yang mendorong lahirnya berbagai sekolah perempuan oleh para pahlawan kita, yang berani melawan kekuasaan kolonial dan feodalisme, seperti Kartini, Dewi Sartika, dan Roehana Kudus,” ungkap Menteri Bintang.

Lebih lanjut, Menteri Bintang mengatakan, hal itulah yang mendorong lahirnya berbagai organisasi dan tokoh perempuan.

“Kemudian, organisasi-organisasi perempuan ini pun bersatu dalam Kongres Perempuan I yang dilaksanakan pada 22 Desember 1928. Melalui Kongres Perempuan I dan kongres-kongres perempuan selanjutnya, perempuan memperjuangkan kembali hak-haknya yang telah dirampas, seperti keadilan dalam hukum perkawinan, kesetaraan dalam ekonomi, hingga keterwakilan di parlemen Hindia Belanda,” tutur Menteri Bintang.

Menteri Bintang menegaskan, Negara Indonesia membutuhkan pejuang perempuan maupun laki-laki yang mau menempuh resiko dan terus bekerja keras menembus tembok patriarki dan mengatasi ketertinggalan perempuan, sebagaimana dicontohkan oleh para pendahulu.

“Jangan sampai apa yang diperjuangkan perempuan dalam kongres perempuan Indonesia dahulu justru mengalami kemunduran. Saya tidak lelah mengajak masyarakat untuk menggelorakan semangat solidaritas, gotong-royong serta ikhtiar memajukan perempuan dan mewujudkan mimpi masyarakat Indonesia adil, setara, dan sejahtera,” ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Sosial, Tri Rismaharini menegaskan, perempuan merupakan kelompok yang memiliki daya dalam mewujudkan pembangunan bangsa Indonesia.

“Sering kali kita melihat, sosok perempuan hanya memiliki kelemahan serta tidak mampu bersuara. Pemberdayaan perempuan inilah yang harus kita harus perjuangkan bersama-sama,” imbuh Risma.

Menurut Risma, salah satu faktor yang melatarbelakangi belum maksimalnya kepemimpinan perempuan maupun keterwakilan perempuan dalam politik adalah kesibukannya dalam mengurus rumah tangga. “Oleh karena itu, untuk mengembangkan potensi perempuan, maka urusan rumah tangga harus dikerjakan bersama-sama antara perempuan dan laki-laki,” lanjutnya.

Tokoh perempuan Nahdlatul Ulama, Badriyah Fayumi mengatakan, perempuan hadir dalam 4 (empat) dimensi, yaitu perempuan sebagai subjek, tema, perspektif, dan kelompok khusus.

“Kehadiran perempuan bukan sekadar pajangan, tetapi perlu ada sesuatu yang dikontribusikan. Selain itu, dalam isu-isu yang ada di Indonesia harus mempertimbangkan sudut pandang atau perspektif perempuan dan gender,” ungkap Badriyah.

Labih lanjut, Badriyah menjelaskan mengenai adanya masalah rekognisi atau pengakuan yang dialami oleh perempuan. Ia mencontohkan para perempuan Aceh yang memiliki peranan dalam mengembangkan Kesultanan Aceh, salah satunya Sultanah Safiatuddin. Namun, tokoh-tokoh Aceh yang lebih banyak ditampilkan pada publik adalah tokoh laki-laki, seperti Ar-Raniri yang namanya digunakan sebagai nama universitas.

Sementara itu, tokoh perempuan Muhammadiyah, Siti Ruhaini Dzuhayatin menyebutkan adanya beberapa tantangan perjuangan perempuan ke depannya, salah satunya adalah menguatnya populisme dan politik identitas agama yang menjadikan perempuan sebagai simbol dari revitalisme konservatif/fundamentalisme yang patriarkis, misoginis, dan segregatif.

“Selain itu ada juga tantangan dalam menguatkan komitmen politik terhadap kepemimpinan perempuan untuk meningkatkan Indeks Pemberdayaan Gender,” ujar Siti.

Editor: denkur | Sumber: Kemen PPPA

 

Berita Terkait

Diduga Gelapkan Dana Desa, Mantan Sekdes di Sukabumi Diciduk Polisi
Meski Dikalahkan Vietnam, Erick Thohir Memuji Mental Pemain Muda Indonesia
Banjir Rob Subang Merendam Empat Desa, Bey Temui Warga Terdampak
Pelantikan 11 Bupati dan Walikota di Jabar Berpotensi Mundur, Ini Penyebabnya
Alfath Alima-Maheswara dari Kota Bogor Juara Moka Jabar 2024
Juara Mojang Jajaka, Benny Bachtiar: Mereka Jadi Duta Pariwisata dan Budaya Jabar
Ini Skema dan Cara Menghitung Pajak Kendaraan Setelah Ada Aturan Opsen
Pekan Kebudayaan Jawa Barat, Harmoni Keberagaman Warisan Leluhur
Berita ini 1 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 16 Desember 2024 - 17:13 WIB

Diduga Gelapkan Dana Desa, Mantan Sekdes di Sukabumi Diciduk Polisi

Senin, 16 Desember 2024 - 11:52 WIB

Banjir Rob Subang Merendam Empat Desa, Bey Temui Warga Terdampak

Senin, 16 Desember 2024 - 11:36 WIB

Pelantikan 11 Bupati dan Walikota di Jabar Berpotensi Mundur, Ini Penyebabnya

Senin, 16 Desember 2024 - 11:03 WIB

Alfath Alima-Maheswara dari Kota Bogor Juara Moka Jabar 2024

Senin, 16 Desember 2024 - 10:52 WIB

Juara Mojang Jajaka, Benny Bachtiar: Mereka Jadi Duta Pariwisata dan Budaya Jabar

Berita Terbaru

Kepala Dimas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) KBB, Panji Hernawan

BANDUNG UPDATE

Nataru, Wisatawan Bandung Barat Diprediksi Naik Sekitar 15 Persen

Senin, 16 Des 2024 - 16:16 WIB