OLEH: Sabpri Piliang
WARTAWAN SENIOR
“GEMPA” dahsyat melanda Pemerintah Israel. Bias kognitif (pola pikir) yang menyebut perintah penangkapan PM Benyamin Netanyahu, dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant sebagai duplikasi anti-semitisme dan kemenangan terorisme. Mulai diacuhkan.
Siapa yang mengacuhkan? Tidak secara eksplisit bisa terjawab. Namun perlahan, bias kognitif telah mempengaruhi: keyakinan, pendapat, dan keputusan negara-negara yang selama ini “melindungi” Benyamin Netanyahu dan Yoav Gallant. Dari tudingan International Criminal Court (ICC). Sejak Mei lalu.
Mulai muncul rasa malu dalam skema “patron-client”, dari tindakan Israel kepada rakyat Gaza, yang sangat menderita. Pola “inang” Israel, oleh sejumlah negara Barat (AS, Inggris, Jerman, Perancis) sulit dipertahankan, karena mulai mengarah pada “simbiosa parasitisme”. Bila melihat hal faktual di Gaza saat ini.
‘Eufimisme’ hukum kolektif Israel kepada rakyat Gaza. Sebagai pembelaan diri dan membela kepentingan nasional, telah menjadi bias kognitif (sesat pikir). Brutalitas Israel tidak lagi rasional.
Hampir 44.000 jiwa (sebagian besar anak-anak dan wanita) tewas oleh ribuan ton bom (sejak Oktober 2023). Hukum kolektif kemudian dilanjutkan, dengan mencegah bantuan makanan dan obat-obatan masuk ke Gaza, menghancurkan hal yang dilarang oleh hukum perang: Rumah Sakit, Sekolah, dan sasaran sipil.
Lagi-lagi bias kognitif dipakai oleh Benyamin Netanyahu-Yoav Gallant, serta Pemerintahan Israel. Serangan kepada rumah sakit dianggap sah, karena digunakan oleh pejuang Hamas. Serangan ke kamp pengungsian sipil sah, karena ada Hamas.
Lalu, mengebom tempat ibadah sah, karena dipakai pejuang Hamas berlindung. Bahkan Israel, lewat Knesset-nya (Parlemen) melarang dan mengusir UNRWA (BADAN Pengungsi PBB) mendistribusikan bantuan. Ini adalah bias kognitif yang “off side”.
Negara-negara penyuplai senjata dan bom kepada Israel. Dengan keputusan ICC ini, tinggal memilih dua jalan: lanjutkan pengiriman. Dengan risiko merusak kredibilitas negara, merusak nama baik negara dan bangsa yang lebih luas. Atau hentikan, dan patuhi resolusi PBB.
Keputusan Lembaga Peradilan Internasional (ICC) yang memerintahkan penangkapan kepada tiga sosok (21/11): Benyamin Netanyahu, Yoav Gallant, dan Komandan Hamas, Ibrahim Al-Masri (Mohammad Deif), kali ini berbeda dengan perintah penangkapan ICC Mei lalu.
Saat itu (Mei 2024), ada dua nama lagi dari Hamas: Ismail Haniyeh dan Yahya Sinwar yang termasuk dalam perintah tangkap . Namun keduanya telah terbunuh. Sehingga keputusan terhadapnya, gugur dan tak mungkin diadili secara hukum.
Realitas lanskap hukum dunia, sudah tak terelakan lagi oleh Israel (Netanyahu dan Gallant). Keputusan ini, merupakan tonggak sejarah. Pertama kali, sekutu Barat dalam demokrasi modern didakwa dengan kejahatan perang. Sekaligus kejahatan terhadap kemanusiaan.
Badan independen yang dibentuk atas kesepakatan dunia tersebut, tidak bisa diremehkan. Kredibilitas ICC tidak ada yang meragukan. Presiden Serbia Slobodan Milosevic yang terlibat genosida Perang Bosnia/Perang Balkan (1990-1995), telah diadili dan dihukum (2001). Dia meninggal di tahanan (Den Haag).
Kompatriot Milosevic, Radovan Karadzic yang sembunyi selama bertahun-tahun, menghindari kejaran ICC. Akhirnya ditangkap ICC di Beograd (Ibukota Serbia 2008). Penyamarannya dengan nama palsu Dragan, terungkap. Dia dibawa ke Den Haag.
Begitu juga dengan Ratco Mladic. Pemerintahan baru Serbia, lewat Presiden Boris Tadic menangkap “sang Panglima Perang” ini di Beograd (2011). Tadic menyerahkan sang penjahat perang kepada peradilan internasional di Den Haag.
Pola “patron-client” Yugoslavia (baca:Serbia) oleh Uni Soviet (baca: Rusia) tereliminasi. Rusia lepas tangan. Rusia berdalih, Yugoslavia adalah negara satelit Uni Soviet (baru bubar), bukan satelit Rusia.
Rusia selamat dari rasa malu perilaku trio (Milosevic, Karadzic, dan Mladic). Ketiganya sempat digelari sejumlah media internasional sebagai, “Penjagal dari Balkan”. Kejahatannya mengeksekusi 8.000 tawanan sipil Bosnia yang dilindungi Pasukan PBB (di Kota Srebrenica), dianggap ICC bersalah.
Bagaimana Netanyahu dan Gallant pasca keputusan dan perintah kedua ICC (pertama Mei lalu)?
Silang pendapat memandang Israel (Netanyahu) oleh sekutu kentalnya, mulai menyeruak. Suara membela Israel tidak lagi bulat, dan cenderung risih. Stigma sebagai penjahat perang, menjadikan ruang gerak kedua pemimpin Israel ini menjadi sempit.
Seandainya AS bereaksi keras (membela) dengan keputusan ICC, ini akan mengorbankan kredibilitas Internasionalnya. Apalagi AS Selama ini, tersirat meng-klaim sebagai “penegak keadilan global”.
Jerman yang merupakan sekutu kental Israel lainnya, diperkirakan akan mulai menjauhi Benyamin Netanyahu. Sementara pemerintah PM Inggris, Keir Starmer diprediksi tidak akan membela Netanyahu, namun juga tidak akan menyalahkan.
Bisa disebut abstain. Sikap netral Inggris sangat merugikan Netanyahu-Gallant, di saat keduanya membutuhkan dukungan pasti. Tentunya kembali lagi, fakta keadaan Gaza membuat Inggris “tersandera” oleh opini dunia, juga sikap rakyat Inggris.
Keputusan ICC diyakini, seperti besi “lembing” yang berbalik arah. Badan peradilan ini, sejatinya terstigma sebagai “instrumen dunia Barat” yang banyak menghukum “out group”nya. Seperti: Milosevic, Karadzic, dan Mladic.
Daya tahan AS, Jerman, Inggris, dan Perancis kini tengah diuji. Belum sampai ke titik nadir, untuk terus bersama Israel (in group), atau mulai menjauhi. Ratusan negara di “General Assembly” (Majelis Umum PBB), pasti akan mendukung ICC pada keputusan penangkapan Netanyahu-Gallant-Deif.
Ketidakberdayaan Security Council (Dewan Keamanan PBB) yang selama ini “lumpuh” terhadap Israel, semestinya berterima kasih kepada ICC. Dengan ruang lingkupnya, diharapkan ICC bisa mengakhiri perang Gaza.
Pertanyaan sekarang. Apakah pemerintahan Netanyahu akan jatuh, setelah keputusan ICC? Lalu, apakah Perang Gaza bakal berakhir? Sebagai pengamat, saya tidak yakin.
Karena, ada asumsi yang terbangun pada sebagian besar orang Israel. Bahwa, sistem Internasional, selalu menargetkan penyingkiran negara Israel secara tidak adil.
Netanyahu akan tetap kuat, karena rakyat Israel membutuhkan pemimpin kuat. Agar negara Israel tetap survival, mereka harus keras terhadap segala ancaman . Idiom “Founding Mother” Israel, Golda Meir pernah mengatakan. “Negara Israel akan hilang, bila mereka kalah”.
Pakar Israel tentang opini publik, Dahlia Schendlin seperti dikutip “The Guardian”, mengatakan. Tidak banyak warga Israel yang memandang surat penangkapan ICC, sebagai pelemahan negara Israel, dalam skala global. Rakyat Israel juga tak yakin surat penangkapan itu, menjadikan status negara menjadi “paria”. Perang akan terus berlangsung, Israel akan ‘cuek’.
Buktinya? Tiga resolusi di Senat AS. Yang meminta penghentian penjualan senjata AS senilai US$ 20 milyar ke Israel, mentah dan gagal. Kuatnya dukungan Senat kepada Israel, terlihat hanya 20 suara dari 100 anggota Majelis yang mendukung penghentian penjualan.
Berdasarkan hukum AS sendiri sesungguhnya, tegas melarang. Tidak boleh membantu militer asing, yang dianggap telah melanggar HAM. Namun Pemerintahan Presiden Joe Biden, menolak menghentikan bantuan persenjataan.
Dalam jangka pendek. Mungkin Benyamin Netanyahu, tidak leluasa lagi berpidato di depan Kongres AS. Tidak mungkin AS mau dipermalukan di hadapan dunia, di mana yang berpidato adalah pelaku kejahatan perang, yang divonis ICC (International Criminal Court).
Sementara, baik PM Benyamin Netanyahu, Yoav Gallant, dan Mohammad Deif, tidak akan berani mengunjungi salah satu dari 124 negara anggota ICC. Karena bisa berakibat sah pada penangkapan.
Keputusan ICC adalah langkah dan upaya untuk mengakhiri perang Gaza. Namun, apakah Perang akan berakhir? Hingga pelantikan Presiden baru AS, 20 Januari 2025. Perang akan terus berlangsung. Donald Trump, mungkin akan berbeda dengan Biden dalam menyikapi keputusan ICC.
Bias kognitif pada bangsa Israel, keyakinan Hamas untuk kembali ke tanahnya (perbatasan sebelum 1967), kebijakan Senat AS dan Pemerintahan Joe Biden. Menjadikan keputusan ICC, cuma setitik harapan.