BUMI Alit, adalah nama situs cagar budaya di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Letaknya, sekitar 8 Km pusat pemkab kearah timur di perbatasan Desa Lebakwangi dan Desa Batukarut Kecamatan Arjasari.
Masyarakat setempat menyebutnya Bumi Buhun Lebakwangi Kabuyutan. Tempat tersebut hingga sekarang masih dirawat dengan baik oleh sesepuh dan masyarakat yang tergabung dalam Sasaka Waruga Pusaka Situs Bumi Alit Kabuyutan.
Rumah adat Sunda
Penasehat Sasaka Waruga Pusaka, Wawan Suherman (60 tahun), menerangkan, komplek Bumi Alit Kabuyutan terletak di lahan tanah seluas kurang lebih 2.276 m2. Di komplek ini ada dua bangunan, yakni Bale Panglawungan seluas 10×10 m2,yang hingga sekarang berfungsi sebagai tempat berkumpul lembaga adat setempat.
Kedua, sebagai bangunan utama yaitu Bumi Alit Kabuyutan, terletak di pojok selatan areal tersebut. Pintu rumah panggung yang didominasi warna putih ini menghadap ke utara dengan dua anak tangga di bagian depan.
Situs ini tidak tiap hari dibuka. Hari Senin dan Kamis hanya dibersihkan.
Sedangkan dibuka secara khusus hanya ketika melakukan ritual ngaruat pusaka (mencuci benda pusaka) yang ada di Bumi Alit Kabuyutan. Ini berbarengan dengan peringatan maulid Nabi Muhammad SWA, setiap tanggal 12 Rabiul Awal.
Di Bumi Kabuyutan terdapat ratusan benda pusaka bersejarah peninggalan leluhur. Bumi Alit Kabuyutan, ungkap Wawan didirikan lima orang penggagas. Kelima orang itu ialah Embah Manggungjayadikusumah sebagai pemimpin, Mbah Lurah, sebagai lurah atau kepala desa, Mbah Wira Wiradikusumah yang bertanggungjawab atas keamanan dan ketertiban. Lainnya, Mbah Patra yang bertanggungjawab dalam bidang budaya, dan Mbah Dalem Aji Kalangsumita yang bertanggungjawab dalam bidang tata hukum.
Bumi Alit Kabuyutan merupakan ciri bentuk krumah adat Sunda. Terdiri dari bagian depan ada golodog atau anak tangga menuju tepas (teras) rumah.
Di dalamnya terdapat pangcalikan atau ruang tengah, pajuaran (kamar), dan pawon (dapur) dan pajuaran yang dijadikan tempat menyimpan sejumlah benda pusaka peninggalan karuhun (nenek moyang) orang Sunda, Benda pusaka tersebut, antara lain kujang, keris, tombak, pisau kecil, dan gobang.
“Pada zaman dulu rumah ini kerap dijadikan sebagai tempat berkumpul para karuhun untuk bermusyawarah. Meski sudah mengalami beberapa kali renovasi. Namun tetap menggunakan bahan dari bambu dan kayu serta tidak menggunakan paku, melainkan dengan diikat tali injuk sebagai penggantinya,” tutur Wawan.
Hajat lembur
Masyarakat sekitar, kata Wawan, setiap menjelang satu Muharam suka melakukan acara hajat lembur. “Kalau dulu ngaruat lembur. Masing- masing warga membawa makanan, tumpeng dengan makanan lainnya. Saling berbagi, saling kirim, sebagai ungkapan rasa sukur kepada yang Maha Kuasa, selama setahun diberi berbagai kenikmatan, ” kata Wawan.***
Wartawan: Sopandi l Editor: Ayi Kusmawan