Presidensi Indonesia pada G20 tahun 2022 merupakan bukti kepercayaan dunia internasional terhadap kemampuan Indonesia dalam menangani pemulihan ekonomi nasional sekaligus mendorong pemulihan ekonomi dunia akibat pandemi Covid-19.
DARA – Sebagai satu-satunya negara ASEAN yang menjadi anggota G20, Indonesia memiliki peran strategis untuk mengakomodasi kebijakan ekonomi dunia yang mempertimbangkan dan melindungi negara berkembang.
Isu prioritas lainnya adalah penanganan perubahan iklim karena dampaknya yang luas dan masif pada kualitas kehidupan manusia dan ekonomi. G20 harus menjadi katalisator pemulihan hijau dan memastikan tidak ada satu pihak pun yang tertinggal.
“Di dalam kita membahas seluruh pemulihan ekonomi dan menjaga masyarakat kita, kita melihat adanya ancaman baru yang nyata yaitu perubahan iklim. Perubahan iklim bukan masalah Indonesia saja, sama seperti pandemi yang bukan hanya masalah Indonesia. Tapi bagaimana suatu negara bisa mengalami atau mengelola dampak negatifnya itu tergantung dari kemampuan negara itu, pondasi negaranya, instrumen yang dimiliki, dan ketepatan policy-nya,” jelas Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati saat memberikan materi pada CEO Networking, Selasa (16/11).
Sama seperti pandemi Covid yang memberikan dampak yang sangat mengguncang dunia, Menkeu berujar bahwa kenaikan suhu akibat perubahan iklim juga menimbulkan komplikasi pada kemampuan bumi ini untuk terus mendukung kehidupan lebih dari tujuh miliar manusia didalamnya.
Oleh karena itu Indonesia juga memiliki komitmen untuk juga menurunkan CO2 agar pemanasan bumi tidak terjadi yang dilakukan di berbagai sektor seperti kehutanan, energi transportasi, waste/sampah, agriculture dan industri. Dua sektor yang sangat penting dalam memberikan kontribusi untuk penurunan CO2 yang sangat sangat signifikan adalah kehutanan dan energi transportasi.
Menkeu menyebut bahwa selain perlunya rumusan kebijakan di dalam negeri, Indonesia juga memahami bahwa ini merupakan masalah global. Maka Indonesia terus terlibat secara aktif pada forum global baik itu COP26 di dalam UNFCCC maupun pada koalisi antar Menteri-Menteri Keuangan terhadap perubahan iklim karena aspek keuangan menjadi sangat penting untuk mewujudkan komitmen dalam mengurangi ancaman akibat perubahan iklim global.
“Kita juga melakukan di forum G20 dan di forum ASEAN dan di bidang Taskforce untuk climate finance. Disini hitung-hitungan menjadi sangat penting, bagaimana sebuah transisi baik itu di bidang forestry, transportasi, maupun di bidang energi dan juga bahkan di bidang pengolahan sampah menjadi luar biasa sangat penting bagi kita untuk menentukan desain kebijakan dan yang paling penting transisinya,” ujar Menkeu, seperti dikutip dari laman resmi kementerian keuangan, Selasa (16/11/2021).
Dalam kesempatan ini, Menkeu berharap kepada para pelaku di sektor capital market agar memahami bahwa isu perubahan iklim ini akan menjadi isu utama dalam pembahasan di dunia, dan menurutnya ini berarti akan mempengaruhi sumber-sumber pendanaan untuk ekonomi hijau.
“Kami di Kementerian Keuangan terus berkomunikasi dengan semua stakeholder termasuk di dalam pengembangan carbon price yang sudah di-introduce melalui Perpres dan menjadi landasan bagi Indonesia untuk memulai sebuah mekanisme pasar karbon dimana kita juga dalam hal ini akan sangat tergantung kepada Bursa Efek Indonesia dan yang akan menjadi platform untuk perdagangan, yang saya harap akan membangun dan mengantisipasi, sehingga perdagangan karbon menjadi kredibel dan diakui tidak hanya Indonesia tapi juga diakui oleh dunia,” lanjut Menkeu.*** (nug/hpy)
Editor: denkur