“Pernikahan muda harus dihindari. Itu akan sangat berkaitan dengan tingkat kematian ibu dan bayi. Salah satu pemicu tingginya angka kematian ibu dan angka kematian bayi dari situ, kehamilan pada usia muda. Perempuan belum siap untuk punya anak. Ibunya juga belum siap untuk mengurus anak,” kata Adang Sudrajat.
DARA | BANDUNG – Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Adang Sudrajat membawa pesan khusus kepada remaja Jawa Barat. Jangan nikah muda! Itulah pesan yang disampaikan Adang saat Sosialisasi dan Bakti Sosial Pembangunan Keluarga bersama Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Barat di Graha Berkah Sadaya, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, Sabtu (13/6/2020).
Turut hadir antara lain Kepala Perwakilan BKKBN Jawa Barat Kusmana dan Kepala Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten Bandung Muhammad Hairun.
Adang beralasan, nikah muda berisiko secara kesehatan maupun psikologis keluarga. Secara kesehatan, nikah yang diikuti kehamilan saat usia muda berpotensi memicu sejumlah masalah kesehatan. Tertutama dipicu akibat belum matangnya organ reproduksi pada perempuan. Secara psikologis, menikah tentu saja menuntut kesiapan mental.
“Pernikahan muda harus dihindari. Itu akan sangat berkaitan dengan tingkat kematian ibu dan bayi. Salah satu pemicu tingginya angka kematian ibu dan angka kematian bayi dari situ, kehamilan pada usia muda. Perempuan belum siap untuk punya anak. Ibunya juga belum siap untuk mengurus anak. Sampai saat ini angka kematian ibu di Indonesia masih tinggi. Lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN lainnya,” ujar Adang dalam siaran persnya.
Sejalan dengan pesan program BKKBN, anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menyarankan agar remaja menikah pada saat usia sudah matang. Usia 21 tahun untuk perempuan dan 25 untuk laki-laki.
Usia itu dianggap ideal karena pada usia tersebut laki-laki dan perempuan sudah sampai pada kematangan organ reproduksi. Asumsi lainnya adalah bahwa usia tersebut remaja sudah menyelesaikan sekolah dan mulai bekerja.
“Kalau pun di bawah itu, jangan terlalu jauh lah kurangnya. Undang-undang sudah menetapkan minimal 18 tahun. Memang harus kita perhatikan semua. Idealnya sesuai arahan BKKBN, laki-laki 25 tahun, perempuan 21 tahun. Sekarang misalnya ada yang hamil saat usia 14 tahun atau 15 tahun. Itu sebetulnya belum siap. Kasihan ibunya, kasihan bayinya juga,” katanya.
Sejalan dengan itu, Adang menekankan agar remaja belajar mempersiapkan diri untuk berkeluarga. Perencanaan keluarga menjadi sangat penting di tengah semakin kompleksnya masalah yang dihadapi keluarga dari waktu ke waktu. Keluarga berkualitas, sambung Adang, hanya akan terwujud manakala sebuah keluarga direncanakan dengan baik.
Karena itu, Adang menyambut baik transformasi program BKKBN yang kini lebih fokus pada generasi muda. Paradigma ini bergeser dari program keluarga berencana (KB) era sebelumnya yang menekankan pengendalian kehamilan atau pemakaian kontrasepsi. BKKBN kini lebih menyasar pembangunan keluarga, khususnya generasi millenial.
“Penting bagi remaja untuk merencanakan usia nikah, perencanaan jumlah anak yang ingin dilahirkan, dan rencana lainya. Itu konteks yang diusung BKKBN sekarang. Bkan semata-mata pembatasan jumlah kelahiran, tapi kita ingin keluarga itu berkualitas,” terangnya.
Komisi IX terus mendukung adanya program KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) kepada generasi muda agar mereka lebih merencanakan ke depannya. Diharapkan generasi muda lebih mampu merencanakan karena kehidupan masa depan ada di mereka, milik generasi muda. Masa depan Indonesia ini ada pada mereka.
Salah satu yang penting bagi remaja adalah membangun produktivitas. Agar bisa lebih produktif, maka remaja harus mampu mengembangkan diri sesuai dengan tuntutan masa depan. Terutama terkait keterampilan-keterampilan era industri 4.0. Di mana, pada era tersebut sejumlah pekerjaan baru akan muncul menggantikan pekerjaan lama yang sudah tidak relevan.
“Yang paling dekat misalnya adalah menyesuaikan diri dengan kenormalan baru (new normal). Setidaknya itu akan mempengaruhi bagaimana hidup kita ke depan,” ucapnya.
Di tempat yang sama, Kepala DP2KBP3A Kabupaten Bandung, Muhammad Hairun mengaku khawatir imbauan agar tetap berada di rumah (stay at home) berpengaruh terhadap reproduksi perempuan. Sehingga angka kehamilan dan kelahiran meningkat.
Untuk mencegah meningkatnya kehamilan dan kelahiran, pihaknya mengimbau para peserta KB untuk tetap menggunakan alat kontrasepsi. Terkait terbatasnya pemasangan alat kontrasepsi IUD di fasilitas kesehatan, Hairun meminta peserta KB untuk sementara mengalihkan jenis kontrasepsi yang digunakan. Pesan pentingnya adalah menunda kehamilan selama pandemi.
“Kemudian selama pandemi ini masyarakat usia subur ini harus terus diberikan sosialisasi soal alat kontrasepsi yang mudah dijangkau seperti penggunaan suntik, pil KB, kondom, dan juga implan. Jadi, selama ini kami tetap gencar melakukan sosialisasi,” kata Hairun.
Menurutnya, pencegahan penyebaran Covid-19 sangat penting. Namun demikian, pengendalian kehamilan dan kelahiran juga tak kalah penting. Karena jika tidak dikendalikan bisa mengakibatkan terjadinya ledakan penduduk. Hal tersebut harus terus dicegah dan dihindari.
Guna menutupi kemungkinan defisit peserta KB selama pandemi, BKKBN mencanangkan agenda pelayanan 1 juta peserta pada peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) mendatang.
“Virus corona memang harus negatif, tapi ibu-ibu juga harus negatif. Selama pandemi ini harus bisa menunda kehamilan dulu. Memang dari Januari hingga saat ini tidak ada laporan peningkatan yang signifikan angka kehamilan itu, tapi tetap saja harus diwaspadai dan dikendalikan. Bisa saja pada bulan berikutnya meningkat,” jelasnya.***