Pangandaran masih jadi tempat idola untuk dikunjungi saat liburan tahun baru. Kecantikan pantainya mengundang untuk berkali-kali datang ke sana. Tapi tahukah Anda bahwa dibalik keindahan pantainya ada sejarah yang melenggenda. Ini kisahnya.
Melancong ke Pangandaran tak sebatas masa libur, tapi di hari-hari biasa ada saja yang sengaja datang menikmati pantai nan indah. Namun, tentu masa libur adalah masih yang ramai dibanjir pengunjung.
Bicara Pangandaran tak sekadar piknik menikmati pantai tapi juga sarat dengan cerita sejarah yang hingga saat ini melegenda. Cerita cejarah itu menggambarkan bagaimana suasana atau hiruk pikuk kehidupan jaman kerajaan tempo dulu.
Seperti dikutip dari wikipedia, pada awalnya Desa Pananjung Pangandaran ini dibuka dan ditempati oleh para nelayan dari Suku Sunda. Penyebab pendatang lebih memilih daerah Pangandaran untuk menjadi tempat tinggal karena gelombang laut yang kecil yang membuat mudah untuk mencari ikan. Karena di pantai Pangandaran inilah terdapat sebuah daratan yang menjorok ke laut yang sekarang menjadi cagar alam atau hutan lindung.
Tanjung inilah yang menghambat atau menghalangi gelombang besar untuk sampai ke pantai. Di sinilah para nelayan menjadikan tempat tersebut untuk menyimpan perahu yang dalam Bahasa Sunda disebut andar.
Setelah beberapa lama banyak berdatangan ke tempat ini dan menetap, sehingga menjadi sebuah perkampungan yang disebut Pangandaran. Lalu para sesepuh terdahulu memberi nama Desa Pananjung, karena menurut para sesepuh terdahulu di samping daerah itu terdapat tanjung. Di daerah ini pun banyak sekali terdapat keramat-keramat di beberapa tempat.
Pananjung artinya dalam bahasa sunda pangnanjung-nanjungna (paling subur atau paling makmur).
Pada mulanya Pananjung merupakan salah satu pusat kerajaan, sejaman dengan kerajaan Galuh Pakuan yang berpusat di Putrapinggan Kalipucang Pangandaran sekitar abad XIV M setelah munculnya Kerajaan Pajajaran di Pakuan Bogor.
Nama rajanya adalah Prabu Anggalarang yang salah satu versi mengatakan bahwa dia masih keturunan Prabu Haur Kuning, raja pertama kerajaan Galuh Pakuan. Namun, sayangnya Kerajaan Pananjung ini hancur diserang oleh para Bajo (Bajak Laut) karena pihak kerajaan tidak bersedia menjual hasil bumi kepada mereka, karena pada saat itu situasi rakyat sedang dalam keadaan paceklik (gagal panen).
Di masa Pemerintahan Hindia Belanda, wilayah Kabupaten Pangandaran ini dikenal dengan nama Sukapura.
Pada tahun 1922, penjajahan Belanda oleh Everen (Residen Priangan) Pananjung dijadikan taman baru, pada saat melepaskan seekor banteng jantan, tiga ekor sapi betina dan beberapa ekor rusa. Karena memiliki keaneka ragaman satwa dan jenis-jenis tanaman langka, agar kelangsungan habitatnya dapat terjaga, maka pada tahun 1934 Pananjung dijadikan Suaka Alam dan Marga Satwa dengan luas 530 hektar.
Pada tahun 1961 setelah ditemukannya Bunga Reflesia Padma status berubah menjadi Cagar Alam. Dengan meningkatnya hubungan masyarakat akan tempat rekreasi, maka pada tahun 1978 sebagian kawasan tersebut seluas 37, 70 hektar dijadikan Taman Wisata.
Pada tahun 1990 dikukuhkan pula kawasan perairan di sekitarnya sebagai Cagar Alam Laut (470,0 hektar) sehingga luas kawasan pelestarian alam seluruhnya menjadi 1000,0 hektar.
Perkembangan selanjutnya, berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 104/KPTS-II/1993 Pengusahaan Wisata Taman Wisata Alam Pananjung, Pangandaran diserahkan dari Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam kepada Perum Perhutani dalam pengawasan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, Kesatuan Pemangkuan Hutan Ciamis, bagian Pemangkuan Hutan Pangandaran.***
Editor: denkur | sumber: wikipedia