Pilkades di masa PPKM pandemi covid membuat bingung para calon. Namun, Payus Riksa Waluya punya metode sendiri dalam menyosialisasikan dirinya, yaitu aktif di sosmed.
DARA – Payus Riksa Waluya adalah calon kepala desa di Desa Pamekaran Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
‘Ya itu tadi, mematuhi aturan PPKM Darurat soal tidak berkerumun, calon kepala desa yang baru berusia 37 tahun ini lebih memilih utuk menggunakan sarana media sosial dalam menyampaikan konsep-konsepnya membangun Desa Pamekaran agar lebih baik.
“Ditengah banyaknya pembatasan kegiatan masyarakat, sosialisasi digital memang merupakan salah satu solusi yang bisa dijalankan saat ini,” ujar Payus ditemui di kediamannya di Jalan Pasantren, Soreang, Senin (27/7/2021).
Ia menyadari betul untuk melakukan sosialisasi dengan gaya lama (mengumpulkan masyarakat) tentu akan menimbulkan resiko tinggi dan rawan pelanggaran terhadap aturan pemerintah tentang kerumunan.
Langkah alternatif adalah dengan aktif di sosial media dan melakukan sosialisasi dari rumah ke rumah menjumpai tokoh-tokoh masyarakat yang diangggap cukup memiliki pengaruh di lingkungan sekitarnya.
“Memang kalau secara sebaran lebih efektif mengumpulkan masyarakat gitu, tapi kan situasinya sedang begini, apa-apa serba riskan ya, makanya saya lebih fokus ke individu-individu yang memang bisa membantu kita mendapatkan suara. Memang sih dengan konsep door to door juga ada tantangannya, kita sebagai calon kan mobilitasnya tinggi, nah terkadang ada juga masyarakat yang khawatir gitu kalau kita datangi,” ujarnya.
Desa Pamekaran terdiri dari 15 RW. Etalase dari desa-desa lainnya, sebagai pusat ibukota Kabupaten Bandung. Itulah yang menjadi salah satu faktor keinginan Payus untuk mengabdikan diri di tempat kelahirannya.
Menurutnya, seharusnya Desa Pamekaran bisa lebih maju dari desa lainnya karena memiliki potensi yang cukup besar untuk diolah menjadi PADes.
Dengan usianya yang masih muda dan memiliki pemikiran-pemikiran yang masih fresh, ia berharap bisa mewujudkan kemajuan dan kemandirian Desa Pamekaran.
Payus memaparkan beberapa hal yang ia tawarkan kepada masyarakat, diantaranya dalam hal pendidikan, dimana ia ingin membantu para orangtua untuk mendampingi para anak untuk belajar.
Pembelajaran lewat daring/online tidak bisa dipungkiri menambah beban bagi orangtua baik beban secara mental maupun ekonomi. Beban mental ketika para orangtua terutama ibu harus bisa mengajari anaknya materi pelajaran sekolah, padahal ibu itu secara akademis tidak mampu karena tidak memahami materi-materi pelajaran.
Di sisi ekonomi, mereka (orangtua) juga harus mengeluarkan anggaran untuk membeli kuota internet.
“Yang saya tawarkan, disini pentingnya pemerintah desa hadir, di desa kan ada PKK, ada bunda PAUD, kita bisa memberdayakan mereka ditambah akademisi-akademisi yang bersedia jadi relawan untuk membantu anak-anak belajar dengan memanfaatkan aula desa dan jaringan internet yang ada disana,” ujarnya.
“Nanti ada mekanismenya untuk membuat kelompok-kelompok belajar tersebut, dengan begitu orangtua terutama ibu bisa fokus lagi pada kewajiban mereka. Hal itu bisa juga mencegah anak-anak memanfaatkan gadget untuk kepentingan lain selain belajar,” imbuhnya.
Di sisi sosial, lanjutnya, selama pandemi ini banyak bantuan sosial yang turun ke masyarakat, namun hal itu justru dikeluhkan oleh masyarakat karena dianggap tidak merata.
Disitulah peran pemerintah desa untuk bisa mensosialisasikan dan mengedukasi masyarakat terkait bansos. Disamping itu pemerintah desa juga bisa memaksimalkan potensi yang ada di lingkungan desa seperti menggandeng perusahaan-perusahaan untuk bisa membantu masyarakat dengan progran-program CSR nya.
“Yang saya lihat kan disini banyak sekali perusahaan bahkan ada BUMD, nah dengan begitu kan kita bisa mengetuk mereka untuk meminta agar program-program CSRnya bisa kita serap. Itu mungkin akan lebih efektif,” lanjutnya.
Namun, baginya yang terpenting dari semua itu adalah manajemen pemerintahan desa yang harus lebih diperbaiki lagi secara sistem.
Berbekal pengalaman bekerja di Jepang dan di luar Kabupaten Bandung selama bertahun-tahun, Payus berharap bisa berbuat lebih banyak untuk daerahnya sendiri.
“Bertahun-tahun itu, saya kerap melihat kebijakan-kebijakan di daerah lain yang ingin saya terapkan di daerah saya sendiri, dengan kekayaan potensi disini, saya yakin jika sistem manajemen atau tata kelola pemerintahan desa diperbaiki terutama dalam hal keselarasan antara aparat desa, LPMD dan BPD maka akan bisa lebih mensejahterakan masyarakat dan daerahnya akan lebih maju,” tambahnya.
Terkait cost politik, ia memandang hal itu sangat fleksibel, tergantung dari calonnya. Payus sendiri memilih konsep sosialisasi non pragmatis.
“Kita harus bisa meyakinkan masyarakat agar mau bekerjasama untuk mewujudkan visi misi dan program kita kedepan tanpa harus diembel-embeli imbalan uang,” ujarnya.
“Saya ingin memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai apa arti demokrasi itu sesungguhnya. Sekarang sudah bukan jamannya lagi politik diiming-imingi nominal tapi ketika sudah jadi masyarakat malah ditinggal, saya lebih mengajak masyarakat untuk bersama-sama membangun daerah kami,” imbuhnya.
“Geuingkeun lamun urang salah, dan alhamdulillah penerimaan dari masyarakat itu positif, karena mungkin daerah ini kan sudah merupakan perkotaan dimana pikiran masyarakatnya sudah lebih terbuka, jadi tidak terlalu sulit bagi saya,” jelasnya.
Dengan pengunduran jadwal pelaksanaan Pilkades, Payus merasa tidak terpengaruh, justru menambah waktunya untuk bisa bersosialisasi lebih luas, pasalnya ia merasa waktu sosialisasi Pilkades sebelumnya cukup singkat, sehingga masih banyak tokoh yang belum sempat ia temui.
“Sekarang saya jadi punya waktu lagi buat menemui mereka. Karena pola yang saya lakukan bukan pola pragmatis lebih ke open minded,” katanya.***
Editor: denkur