“Kami masih kembangkan (kasus pinjol ilegal) ini (untuk mengetahui) bagaimana perusahaan mendapat nomor kontak dan id (para korban),” ujar AKBP Roland Ronaldy.
DARA- Direktur Direktorat Reserse Kriminal (Ditreskrimsus) Polda Jawa Barat menetapkan tujuh orang tersangka dalam kasus pinjaman online (pinjol). Modus mereka menyebarkan pesan berantai melayani peminjaman uang secara online dan menjebak korban agar berutang.
Tujuh tersangka itu antara GT, perempuan yang menjabat asisten manajer, AZ (perempuan) menjabat HRD, MZ (pria) yang menjabat IT Support, RS (pria) sebagai HRD, AB (pria) desk collection, EA (perempuan) leader tim desk collection, dan EM (pria) desk collection.
“Mekanisme kerja, modusnya, operator desk collection ini, mendapatkan arahan sudah ada nama-nama nasabah yang akan ditagih. Setelah itu ditagihkan menggunakan beberapa sarana, melalui telepon dan WA (WhatsApp). Dari situlah mereka melakukan pengancaman-pengancaman terhadap nasabah,” kata Wakil Direktur Direktorat Reserse Kriminal (Ditreskrimsus) Polda Jabar AKBP Roland Ronaldy di Mapolda Jabar, Jalan Soekarno-Hatta, Kota Bandung, Senin (18/10/2021).
Para collection atau debt collector itu, lanjut Roland Ronaldy, mendapatkan data dan nama-nama nasabah dari pimpinan mereka. “Kami masih kembangkan (kasus pinjol ilegal) ini (untuk mengetahui) bagaimana perusahaan mendapat nomor kontak dan id (para korban),” ujar AKBP Roland Ronaldy, seperti dikutip daa.co.id dari inews.id.
Berdasarkan hasil penyidikan sementara, tutur Wadir Ditreskrimsus Polda Jabar), para pegawai di pinjol ilegal tersebut mendapatkan upah antara Rp2.000.100 hingga Rp3.100.000, tergantung target harian yang tercapai.
Dijelaskan, masing-masing debt collector ditarget menagih 15 hingga 20 nasabah per hari. Setiap aplikasi meminjamkan uang dengan nominal berbeda-beda.
“Ini masih banyak (pinjol ilegal). Macam-macam. Ada yang (meminjamkan uang) satu juta setengah (Rp1,5 juta) ada yang dua juta (Rp2 juta). Untuk penerapan bunga dan aplikasinya (pinjol ilegal) masih didalami lagi,” tuturnya.
Penyidik Ditreskrimsus Polda Jabar, saat ini sedang mengejar pimpinan perusahaan pinjol ilegal tersebut. “Untuk korban sampai saat ini baru satu orang (yang melapor). Kami imbau masyarakat (yang menjadi korban pinjol ilegal) agar melapor,” ujar Roland Ronaldy.
Modus Operansi
Modus operandi seperti itu sesuai dengan yang diceritakan para korban. Seperti disampaikan AES dan TM. Korban TM terjebak pinjol ilegal berawal dari mendapatkan pesan singkat dari satu aplikasi peminjaman uang. Karena tak paham, TM menekan tautan di dalam pesan tersebut.
Tiba-tiba, TM mendapatkan kiriman uang. Lantaran tak membutuhkan uang, TM berusaha mengembalikan dana tersebut. Namun, justru TM kembali mendapatkan kiriman uang ke rekeningnya.
Sejak saat itu, TM mendapatkan teror dari debt collector pinjol ilegal lantaran TM dituduh tak membayar utang. TM memang tak membayar lantaran merasa tak berutang kepada pinjol ilegal tersebut.
Lantaran khawatir dengan keselamatan diri dan keluarganya, TM jadi ketakutan dan depresi. Dia bahkan dibawa ke RS Kawaluyaan Kota Baru Parahyangan. Sampai sekarang TM masih ketakutan dan tak fokus bekerja.
Sedangkan, AES menuturkan kisahnya terjerat rentenir online tersebut. AES mengatakan, awalnya meminjam uang secara online di satu aplikasi, Pinjam Uang. Tapi ketika diklik, ternyata masuk ke tiga aplikasi berbeda sekaligus dan tidak ada konfirmasi sebelumnya.
Saat itu, total pinjaman yang diajukan AES kurang dari Rp3 juta. AES tertarik karena pihak pinjol, menjanjikan bunga rendah dan tenor 90 hari. Artinya relevan dengan kesanggupan AES untuk membayar.
“Pas begitu saya klik, ternyata dana sudah cair ke rekening dari tiga aplikasi berbeda, tapi tidak sesuai perjanjian. Uang yang masuk ke rekening saya kurang dari Rp3 juta,” kata AES.
“Saya terkejut karena tenornya pendek, cuman 7 hari. Saya kan bayar cicilan pokok ya. Akhirnya, tagihan jadi membengkak. Ada yang sampai Rp21.800.000. Total utang yang harus saya bayar Rp48 juta lebih,” ujarnya.
Selama terjerat pinjol ilegal dan telat membayar, AES pernah menerima ancaman lewat telepon dan pesan singat.
“Saya udah ngobrol baik-baik, minta tenor diperpanjang. Mereka malah mengancam. Data saya disebar ke semua kontak saya di WhatsApp,” tutur AES.
AES mengatakan, pinjol ilegal sangat menyengsarakan masyarakat. Misalnya pinjam 1.600.000 tapi cair hanya Rp900.000 karena dipotong biaya admnistrasi yang besar. Selain itu tenor pendek hanya 7 hari dan jika telat membayar terkena denda sangat besar.
“Jadi saya bingung. Mau dibalikin lagi tapi dendanya gede. Akhirnya diteruskan. Saya merasa terjebak. Kirain bisa menolong kita di tengah pandemi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ternyata justru menyengsarakan,” ucapnya.
Editor : Maji