REUNI ALUMNI 212 berlangsung Ahad (2/12/2018). Jutaan massa tumplek di Monumen Nasional (Monas) Jakarta. Pengerahan massa muslim ini, konon tak bermuatan politik. Tetapi entahlah, toh hadir pula Calon Presiden (Capres) Prabowo di tengah-tengah lautan massa itu.
Tak ada ajakan memilih dirinya. Tak ada pula kampanye khususnya dari Capres Prabowo yang tampil berkacamata hitam itu. Di atas panggung Prabowo hanya berujar terima kasih atas undangan panitia reuni alumni 212 sehingga dirinya bisa hadir di tengah-tengah para Mujahid 212 itu.
Pengumpulan massa pada satu titik konsentrasi apapun dalihnya bisa ditafsirkan sebagai langkah politik untuk mempengaruhi pihak lain (baca:lawan politik). Paling tidak, Reuni Alumni 212, boleh juga diartikan sebagai langkah “show of Force” dari para penggiat politik yang berafiliasi pada salah satu pasangan Capres dan Cawapres. Faktanya masih harus dibuktikan, apakah betul yang hadir di Reuni Alumni 212 itu, pendukung atau simpatisan yang pada saatnya nanti memberikan suaranya bagi pasangan Capres-Cawapres Prabowo-Sandi.
Massa sebanyak itu tak bisa diabaikan. Jika benar bahwa massa Reuni Alumni 212 yang hadir di Monas Ahad (2/12/2018) itu sebagai bukti dukungan pada salah satu pasangan Capres dan Cawapres sepertinya pihak rival harus mulai menghitung atau paling tidak membuat “panggung tandingan”. Artinya berbalas “pantun” dengan mengerahkan dukunganya pada panggung lain dengan massa yang seimbang dengan Reuni Alumni 212.
Atau mendiamkan saja, tak perlu ada “panggung” yang sama. Toh pamer dukungan bagi pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin tak perlu. Pasangan ini, sudah lebih dulu melangkah untuk memperlihatkan powernya, yaitu dengan percepatan pembangunan infrastruktur di belahan bumi Indonesia.
Pilpres dan kampanye seperti diketahui masuk dalam ranah pelaksanaan proses demokrasi. Dalam proses demokrasi ini di dalamnya ada siyasah.
Politik dalam kamus bahasa Arab secara umum berarti siyasah. Tetapi dalam Lisanul Ar Arabi karya Ibnu Manzhur (juz6 hal 429), bermakna mengurus sesuatu dengan kiat kiat yang membuatnya menjadi lebih baik.
Politik dalam Islam merujuk Al Imam Ibnul Qayyim, terbagi menjadi dua macam yaitu politik yang diwarnai kezaliman. Ini diharamkan dalam syariat Islam. Kedua politik yang diwarnai keadilan.
Berpolitik jika dilihat dari sisinya yang buruk (politik yang diwarnai kezaliman) dipastikan, akan melahirkan trauma politik pada seseorang yang pada akhirnya akan memunculkan kesimpulan bahwa politik itu kejam dan politikus tak lain hanyalah ahli tipu muslihat yang kental dengan sifat makar, dusta, dan licik.
Adapun politik yang diwarnai keadilan, merupakan salah satu cabang dan pintu dari syariat Islam, sebagaimana dikatakan Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam kitabnya yang monumental I’lamul Muwaqqi’in, juz 4 hal452. Dalam khazanah ilmu-ilmu Islam, politik yang syar’i disebut dengan as-siyasah asy-syar’iyyah.
Politik Praktis
Politik praktis merupakan cara berpolitik ala barat. Di Indonesia politik praktis inipun dikenal sejak zaman Orde Baru. Bahkan di orde reformasipun politik praktis inipun masih langgeng dikenal dan dipraktikan.
Politik praktis bergulir menentukan pilihan rakyat untuk presiden, anggota legislatif, Dewaan Perwakilan Daerah (DPD) bahkan gubernur buparti dan walikota. Dalam beberapa kali pelaksanaan baik Pemilihan Umum Legislatif, Presiden, DPD dan Gubernur serta walikota dan bupati. Proses politik dalam Pemilu ini diwarnai berbagai dinamika.
Namun di masa kampanye Pileg, Pilpres yang kini sudah berjalan sekitar tiga bulan banyak lontaran khususnya dari para elite politik masing-masing pendukung Capres-Cawapres masuk ke ranah arti “terluka”, jika tidak boleh dikatakan pada lontaran “mendzolimi”. ***