Rencana kebijakan impor beras dari pemerintah pusat menjadi pro kontra di kalangan masyarakat, terutama para petani. Banyak pihak yang menilai kebijakan tersebut bisa melukai hati para petani daerah.
DARA – Anggota Komisi B DPRD Kabupaten Bandung, Tri Bambang Pamungkas mengatakan, ada dua alasan yang membuat pemerintah melaksanakan kebijakan impor beras, yaitu untuk memenuhi kebutuhan dan untuk cadangan pangan.
Kebijakan impor beras tidak serta merta menihilkan apa yang menjadi potensi yang dihasilkan para petani di daerah. Kebijakan tersebut, tidak sepenuhnya jelek tapi juga tidak sepenuhnya bagus, karena potensi di masing-masing daerah terkait hasil produksi itu ada dinamikanya.
“Di kita musimnya tidak seperti di Jepang, karena ada faktor-faktor alam yang memang tidak bisa dikendalikan hanya oleh pemerintah, tetap ada keterlibatan dari masyarakat. Kadang memang ada banyak petani yang gagal panen, bukan karena faktor teknis dari sumber daya pertanian saja tapi juga karena faktor alam. Itu yang membedakan Indonesia dengan negara-negara lain,” kata Tri di ruang kerjanya belum lama ini, Senin (22/3/2021).
Tri juga menyebutkan alih fungsi lahan pertanian membuat hasil produksi pertanian menjadi berkurang, hal itu bisa menjadi faktor adanya kebijakan impor beras karena kebutuhan akan beras yang sangat tinggi tetapi beras yang ada semakin berkurang.
Oleh karena itu, kedepan menurutnya akan ada transformasi konsumsi beras ke varian pangan lainnya. Jika tidak ingin ada impor beras, maka perlu ada sosialisasi tentang bagaimana caranya agar masyarakat tidak tergantung kepada beras. Menurutnya kebijakan seperti itu sudah ada di negara lain.
“Negara lain yang sudah mulai bergeser bahan-bahan pokok selain beras yaitu mereka menyiapkan jagung dan yang lain, intinya didalamnya ada protein. Itu untuk mengurangi konsumsi beras,” ujarnya.
Berdasarkan hasil Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2P), kata Tri, memang ada beberapa lahan yang sudah tidak existing menjadi lahan produktif untuk pertanian. Jadi dengan melihat dari fakta tersebut maka kemungkinan besar, akan semakin berkurang produksi pertanian itu.
Tri mengungkapkan bahwa sebenarnya tidak sulit untuk bertransformasi dari beras. Tapi yang menjadi kendala adalah masyarakat sudah bergantung dengan beras.
“Tapi memang tergantung dari kebutuhan masyarakat sama keinginan masyarakat itu sendiri, apakah kita akan terus bergantung konsumsi sehari-hari kepada beras,” lanjut Tri.
Beberapa manfaat yang bisa diperoleh saat mengkonsumsi selain beras, kata Tri, kalau dari sisi ilmiah ternyata banyak banyak manusia yang punya penyakit degeneratif seperti diabetes terus kolesterol itu karena konsumsi karbohidrat itu lebih tinggi dibandingkan dengan zat yang lain. Salah satu penyebabnya adalah masyarakat terlalu over mengkonsumsi beras.
“Sebetulnya ke faktor kesehatan juga akan berpengaruh, ada keseimbangan yang lain kalau ada pergeseran. Tinggal bagaimana dalam hal ini pemerintah daerah memfasilitasi pilihan yang lain selain beras, misalnya kita mau pindah ke jagung atau pindah ke yang lain. Kalau kedepan sih pasti, karena di negara lain sudah diterapkan seperti itu (selain beras),” jelasnya.
Selain itu, jika masyarakat mengkonsumsi selain beras, maka pengeluaran akan lebih irit. Jadi kalau kedepannya konsumsi beras bisa ditekan maka ada varian lain yang muncul yang nilai materinya dibawah beras.
“Akan ada varian yang harganya lebih ekonomis dari beras. Kebijakan sekarang tidak mungkin kebijakan itu datang dari atas ke bawah, tapi harus dari bawah ke atas artinya masyarakat sendiri yang harus berubah dengan sendiri,” kata Tri.***
Editor: denkur