DARA | BANDUNG – Pro dan kontra melanda kebijakan Pemkab Bandung Barat (KBB), Jawa Barat yang menaikkan besaran Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di atas 100%. Kenaikan tersebut tidak melalui persetujuan DPRD KBB dan tanpa sosialisasi kepada masyarakat terlebih dahulu.
Ketua Komisi II DPRD Bandung Barat, Dadan Supardan, menyoroti kebijakan yang dianggap tidak pro rakyat tersebut. Ia menilai, kenaikan PBB sangat memberatkan masyarakat KBB.
Dalam melakukan langkah-langkah dan kebijakan menaikkan tarif PBB, Pemkab BB harus menyosialisasikannya secara intens kepada warga. “Karena kalau tidak, akan menimbulkan permasalahan seperti ini,” katanya, saat ditemui di Hotel Topaz, Kota Bandung, Rabu (3/7/2019).
Menurut Dadan, dalam Pasal 79 Undang-Undang UU 28/2009 mengamanatkan bahwa NJOP sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan yang besarannya ditetapkan oleh Kepala Daerah setiap tiga tahun. Meski masyarakat wajib bayar pajak, secara keseluruhan harus dikaji ulang baik sosialisasi maupun kisaran harganya sendiri.
“Jangan karena kita memiliki target mengejar PAD. Tapi masyarakat merasa dirugikan. Ini perlu dievaluasi kembali,” ujarnya.
Dadan memaparkan, pemerintah desa harus ikut andil dalam melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Jangan sampai masyarakat kaget ketika PBB naik cukup tinggi.
“Pemerintah desa perlu dilibatkan terkait harga agar masyarakat yang datang ke desa dapat mengerti. Jangan sampai desa jadi bulan-bulanan masyarakat,” katanya.
Karena itu, DPRD KBB akan segera memanggil Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) KBB. Pemanggilan akan dilakukan untuk mengetahui dasar kenaikan iuran PBB yang mencapai di atas 100%.
“Mestinya harus sharing dengan kita dulu karena DPRD merupakan tempat mengadunya masyarakat. Apalagi saat ini dampaknya ada di kita, di saat Pemkab Bandung Barat memberikan kebijakan yang tidak pro ke rakyat, pasti rakyat curhatnya ke dewan,” katanya.***
Editor: Ayi Kusmawan