Profil Syekh Abdul Muhyi dan Perjalanan Syiarnya Hingga Sampai di Pamijahan

Sabtu, 7 Mei 2022

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Makam Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (Foto: NUonline)

Makam Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (Foto: NUonline)

Nama Syekh Abdul Muhyi sudah sangat dikenal di Indonesia. Ia ulama besar yang hidup pada periode pertengahan abad ke-17.


DARA – Syekh Abdul Muhyi lahir di Mataram sekitar tahun 1650 M, dan meninggal sekitar tahun 1730 M.

Salah satu bukti yang menguatkan Syekh Abdul Muhyi lahir atau berasal dari Mataram adalah adanya hubungan erat antara Syekh Abdul Muhyi dengan Mataram, hingga ketika keberadaan Syekh Abdul Muhyi menyebarkan Islam di wilayah Pamijahan umumnya di wilayah pemerintahan Sukapura.

Kala itu, Kerajaan Mataram Islam membuat sebuah mandat dengan melayangkan surat kepada pemerintah Kolonial Belanda untuk menjadikan Pamijahan sebagai daerah Pasidkah (yaitu sebuah daerah yang bebas dari pajak dan upeti).

Proses suluk/perjalanan untuk menjadi seorang ulama besar, ia tempuh melalui jalan syariat seperti halnya ulama ulam lain, dengan berguru kepada ulama-ulama besar pada saat itu.

Salah satu guru yang berperan besar dalam mengantarkan Syekh Abdul Muhyi hingga menjadi seorang ulama besar dan Waliyullah adalah Syekh Abdul Rauf AS-Sinkil, ulama asal Aceh As-Sinkil yang berada di wilayah pantai Laut Aceh.

Syekh Abdul Rauf lahir pada tahun 1615 M, dan meninggal pada tahun 1693 M.

Syekh Abdul Muhyi belajar banyak ilmu kepada Syekh Abdul Rauf, hingga melalui jalur Syekh Abdul Rauf lah beliau mendapat ijazah Tarekat Syatariyah.

Syekh Abdul Rauf mendapat ijazah Tarekat Syatariyah dari gurunya yaitu Syekh Ahmad Al-Qusyasyi ketika Ia sedang belajar kepada Qusyasyi di Madinah.

Selama perjalanaannya mencari ilmu di Arab, Syekh Abdul Rauf belajar kepada banyak guru. Ilmu yang Ia pelajari selama berada di Jazirah Arab bukan saja llmu bathin atau ilmu tasawuf, tapi Ia juga banyak belajar ilmu dzahir seperti ilmu fiqih, hadis dan Al-Quran.

Sebagai tanda selesainya berguru kepada Ahmad Qusyasyi, Syekh Abdul Rauf diberi gelar oleh sang guru sebagai khalifah Satariyah dan Qodiriyah. Maka tak heran, seperti yang diungkapkan oleh KH Beben Muhamad Dabbas (Wakil Talqin TQN Suryalaya) bahwa disisi lain Syekh Abdul Muhyi, selain menganut Tarekat Syatariyah, Ia juga sebagai Qodiri hanya saja yang dibesarkan dan disebarkannya Satariyah.

Jadi indikasi Syekh Abdul Muhyi sebagai Qodiri juga mungkin saja disebabkan dari gurunya juga Syekh Abdul Rauf yang mendapat gelar khalifah Syatri dan Qodiri dari gurunya Al-Qusyasyi tersebut.

Tetapi sangat tidak mungkin apabila Syekh Abdul Muhyi menganut Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah (TQN), karena TQN sendiri baru disatukan oleh Syekh Khatib Syambas sekitar tahun 1888 M. Sepeninggal Al-Qusyasyi Abdul Rauf belajar ilmu akhlak serta pemikiran intelektual ilmu kalam kepada Syekh Ibrahim Al-Kurani.

Adapun dalam ilmu Al-Quran Syekh Abdul Rauf belajar kepada Syekh Abdullah bin Muhamad Al-‘Adani, yaitu seorang ahli qori di wilayah tempat tinggalnya. Waktu yang Ia tempuh mencari ilmu selama berada di Jazirah Arab adalah sekitar 19 tahun dan Syekh Abdul Rauf kembali ke Aceh sekitar 1661 M.

Dengan bekal yang ia dapatkan selama berada di Arab, Syekh Abdul Rauf mulai mensyiarkan agama Islam kepada masyarakat Aceh. Dalam menjalankan misi dakwahnya, Ia mendapat dukungan serta perlindungan dari Kerajaan Aceh saat itu. Bahkan, Syekh Abdul Rauf pun diangkat sebagai mufti oleh Kerajaan Aceh.

Hal tersebut pun dialami oleh Syekh Abdul Muhyi ketika melakukan Islamisasi di wilayah Kerajaan Sukapura/Tasikmalaya saat ini.

Kala itu Bupati Sukapura ke III mengangkat Syekh Abdul sebagai mufti di lingkungan Kerajaan Sukapura. Bahkan, putri dari Bupati Sukapura ke III tersebut dipersunting oleh Syekh Abdul Muhyi hingga menjadi istrinya.

Suatu ketika ulama besar Syekh Yusuf Al-Maqqasari pernah meminta bantuan kepada Syekh Abdul Muhyi ketika beliau sedang terlibat peperangan melawan Belanda. Dalam sumber Belanda sebutan terhadap Syekh Abdul Muhyi adalah Hadjie Karang.

Disinilah tempat persembunyian Syekh Yusuf Maqqasari. Selama Syekh Yusuf Maqqasari berada di wilayah Pamijahan, Syekh Abdul Muhyi memanfaatkannya dengan belajar banyak dengannya.

Syekh Abdul Muhyi bertanya banyak hal kepada Maqqasari, salah satunya mengenai tentang penafsiran ayat-ayat Al-Quran tentang mistis.

Selain itu, Syekh Abdul Muhyi meminta Al-Maqasari untuk memberi tahu dan menyebutkan sanad-sanad tarekat yang Ia terima selama berada di Haramayn.

Selain melakukan dakwah billisan/dengan lisan, Syekh Abdul Rauf pun adalah seorang ulama besar yang produktif dalam menulis. Banyak karya kitab yang dihasilkan dari hasil karyanya. Salah satu karyanya yang mashur adalah Kitab Tarjuman Al-Mustafid yang berisi tentang tafsir ayat Al-Quran.

Beliau lah yang pertama kali menterjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Melayu. Kitab Tarjuman Al-Mustafid sebagian besar dikutif dari Kitab Tafsir Jalalen karya Imam Al-Mahali dan Imam As-Syuyuti.

Alasan Syekh Abdul Rauf mengambil rujukan dari Tafsir Jalalen adalah pertama untuk menyambungkan jaringan keilmuan dengan guru-gurunya, adapun alasan kedua adalah agar dapat mudah dipahami oleh masyarakat Nusantara kala itu.

Karya besar tafsir Syekh Abdul Rauf ini bukan saja dicetak di Nusantara tapi terdapat beberapa negara muslim lainnya yang menerbitkan seperti yang ditemui di Istnabul, Kairo, dan Mekkah.

Selain karya Tarjuman AAl-Mustafid, Syekh Abdul Rauf pun merupakan ulama pertama yang menulis kitab fiqih muamalat. Karya besar fiqihnya adalah Kitab Mi’rat Al-Thullab fi Tasyil Ma’rifah Al-Ahkam Al-Syar’iyah li Al-Malik Al-Wahhab.

Profil singkat Syekh Abdul Muhyi

Syekh Abdul Muhyi Pamijahan diyakini sebagai waliyullah dan dihormati masyarakat pesantren. la merupakan mata rantai dan pembawa tarekat Syathariyah yang pertama ke pulau Jawa. Lebih dikenal dengari nama Haji Karang, karena pernah uzIah dan khalwat di Gua Karang.

Di pintu gerbang makamnya yang terletak di Pamijahan Tasikmalaya, tertera tulisan Sayyiduna Syaikh al-Hajj Waliyullah Radhiyullahu.

Abdul Muhyi dilahirkan tahun 1650 di Mataram. Mataram di sini ada yang menyebut di Lombok, tetapi ada juga yang menyebut Kerajaan Mataram Islam.

Ayahnya bernama Sembah Lebe Wartakusumah, bangsawan Sunda keturunan Raja Galuh Pajajaran yang saat itu bagian dari Kerajaan Mataram Jawa.

lbunya bernama Raden Ajeng Tangan Ziah, keturunan bangsawan Mataram yang berjalur sampai ke Syaikh Ainui Yaqin (Sunan Giri l).

Ketka masih anak-anak, Abdul Muhyi telah belajar di Ampel Denta untuk mendaras berbagai disiplin keilmuan pesantren.

Pada tahun 1669 M, di usia 19 tahun, Abdul Muhyi merantau hendak menuiu ke Mekah, tetapi singgah di Aceh. Di Aceh Abdul Muhyi ternyata bertemu dan belajar kepada Tengku Syiah Kuala atau Syaikh Abdur Ra’uf as-Singkili.

Berbagai disiplin keilmuan dipelajari Abdul Muhyi di Kota Aceh ini, termasuk tarekat Syathariyah dari jalur Syaikh Abdur Ra’uf.

Sebagai guru besar Syathariyah, Syaikh Abdur Ra’uf ini berusaha mendamaikan wujudiyah dari lbnu Arabi dengan tasawuf lain yang berkembang di kalangan masyarakat Islam.

Setelah beberapa tahun di Aceh, Abdul Muhyi oleh gurunya diajak berkunjung ke makam seorang yang dikenal masyarakat sebagai Wali Quthb, Syaikh Abdul Qadir Jilani di lrak. Perjalanan diteruskan ke Mekah dan Madinah untuk menunaikan haji.

Abdul Muhyi kemudian belajar di Makkah, tidak langsung pulang. Di Mekah Abdul Muhyi bertemu Syaikh Yusuf al-Maqassari, dan diduga kuat Abdul Muhyi belajar juga kepada Ahmad al-Qusyasyi, Ibrahim Kurani, dan Hasan al-Ajami, yaitu guru-guru dari Abdur Ra’uf as-Singkili sendiri.

Abdul Muhyi kembali dari Mekah menuju Ampel Denta pada tahun 1678 setelah mendapatkan ijazah untuk menjadi mursyid tarekat Syathariyah dari gurunya.

Sekembalinya dari Ampel Denta, sang ayah menikahkannya dengan putri bernama Ayu Bekta. Setelah menikah, bersama orang tuanya, Abdul Muhyi pindah ke Jawa Barat untuk menyebarkan Islam dan berusaha mencari sebuah gua yang ditunjukkan oleh gurunya, Syaikh Abdur Ra’uf as-Singkili.

Awalnya Abdul Muhyi dan keluarga menetap di Desa Darma Kuningan selama 8 tahun (1678-1685) atas permintaan masyarakat. Karena belum menemukan tujuan yang hendak dicari, sambil melakukan dakwah, Abdul Muhyi menuju ke Garut Selatan dan diminta masyarakat untuk tinggal di Pameungpeuk, Garut.

Perjalanan diteruskan ke Lebaksiuh di dekat Batuwarigi. Di berbagai tempat tinggal ini Abdul Muhyi terus menyebarkan Islam secara santun dengan sentuhan hati sebagai seorang sufi.

Di Lebaksiuh inilah Abdul Muhyi menemukan gua yang dikeramatkan dan wingit. Gua ini dinamakan Pamijahan, karena tempat berkembang biaknya banyak ikan.

Gua Pamijahan ini berbatu karang dan penuh dengan hutan lebat, dan karenanya sering disebut juga sebagai Gua Karang. Sejak saat itu, meski kadang-kadang masih tinggal di Lebaksiuh, Abdul Muhyi lebih dikenal sebagai Haji Karang.

Gua ini menjadi tempat ’uzlah dan khalwat-nya, akan tetapi di tempat tinggalnya yang terakhir, ia membangun perkampungan baru bersama para pengikutnya di sebelah barat Kampung Ojong, dan dikenal dengan sebutan Safar Wadi.

Di tempat ini dia membangun masjid dan padepokan sebagai pusat penyebaran lslam dan tarekat Syathariyah.

Sebagai guru Rohani, Abdul Muhyi dihormati masyarakat dan Keraton Mataram. Desanya diakui sebagai desa perdikan, yang artinya berhak mengurus urusannya sendiri secara mandiri, meskipun ada di wilayah Mataram.

Meski memiliki hubungan dengan Mataram, hubungan dengan Keraton Cirebon dan Banten juga dibangun, termasuk setuju sebagian anak-anaknya menikah dengan para bangsawan dari Cirebon.

Hubungan dekat juga terjadi dengan Kesultanan Banten, termasuk dengan guru Rohani di Banten, yaitu Syaikh Yusuf Tajul khalwaiti al-Maqassari, yang merupakan temannya ketika di Mekah.

Ketika Syaikh Yusuf bergerilya di hutan-hutan melawan Belanda akibat keberhasilan Belanda memecah Keraton Banten, Syaikh Yusuf bersembunyi di tempat Syaikh Abdul Muhyi.

Di samping sebagai pendidik, mujahid dalam menyebarkan Islam, seorang yang dikenal memiliki kemampuan linuwih, Abdul Muhyi juga seorang penulis. Dia menulis kitab dalam disiplin tarekat Syathariyah.

Tokoh ini meninggal pada 1730 M atau 1151 H dalam usia 80 tahun. Dia dimakamkan di Pamijahan, yaitu di Bantar Kalong, Tasikmalaya bagian selatan. Makamnya hingga saat ini menjadi makam yang sering diziarahi oleh masyarakat NU dan masyarakat Islam pada umumnya.

Referensi: Ensiklopedia NU dan tulisan Ilham Muhamad Nurjaman, keturunan dari Syekh Abdul Muhyi melalui jalur istrinya Ayu Bakta.

Editor: denkur | Sumber: NUonline

Berita Terkait

Kurikulum Berbasis Toleransi, Kemenag Terbitkan Buku Teks PAI dan Budi Pekerti
Inilah Sederet Doa Nabi Muhammad yang Cocok Dibaca di Hari Maulid Nabi
Khutbah Jumat: Tiga Perkara Di Balik Sikap Istiqamah
Daftar ke KPU Jakarta, Bang Emil-Suswono Diantar Ondel-ondel, Pramono Anung-Rano Karno Naik Oplet Si Doel
Program Qur’an Call dan Tuli Mengaji Raih Penghargaan dalam Ajang Zakat Awards 2024
UPTQ UIN SGD Bandung Mencetak Generasi Qurani
Catatan Diskusi Paramadina: “Etika Islam tentang Perang dan Damai”
Seperti Ini Saat Santriwati Tunanetra Diwisuda Tahfizh Nasional 2024 Kategori 30 Juz
Berita ini 10 kali dibaca

Berita Terkait

Rabu, 20 November 2024 - 13:41 WIB

Kurikulum Berbasis Toleransi, Kemenag Terbitkan Buku Teks PAI dan Budi Pekerti

Senin, 16 September 2024 - 12:54 WIB

Inilah Sederet Doa Nabi Muhammad yang Cocok Dibaca di Hari Maulid Nabi

Jumat, 30 Agustus 2024 - 10:51 WIB

Khutbah Jumat: Tiga Perkara Di Balik Sikap Istiqamah

Rabu, 28 Agustus 2024 - 17:37 WIB

Daftar ke KPU Jakarta, Bang Emil-Suswono Diantar Ondel-ondel, Pramono Anung-Rano Karno Naik Oplet Si Doel

Jumat, 19 Juli 2024 - 18:44 WIB

Program Qur’an Call dan Tuli Mengaji Raih Penghargaan dalam Ajang Zakat Awards 2024

Berita Terbaru