Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan (PSKP) merespons keputusan DPR dan Pemerintah yang tetap sepakat menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak, 9 Desember 2020 di 270 daerah.
DARA | JAKARTA – PSKP menilai jika Pilkada tetap harus dilaksanakan, maka setidaknya Indonesia seharusnya bisa mencontoh mekanisme penyelenggaraan Pemilihan Umum di Korea Selatan.
“Korea Selatan itu punya tiga faktor utama berhasilnya penyelenggaraan Pemilu. Pertama, penyelenggaraan Pemilu yang lentur. Kedua, penanganan Covid-19 yang sigap dan yang ketiga kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara,” ujar Direktur PSKP Efriza dalam Webinar Series PSKP #14 bertajuk “Pilkada di Tengah Pandemi”, Kamis (24/9/2020).
Efriza memaparkan keberhasilan Korsel juga didukung dengan mekanisme Pemilu yang serba daring, dimulai dari tahap pendaftaran pemilih, kampanye, hingga pemungutan dan perhitungan suara. Mekanisme seperti ini mencegah terciptanya kerumunan.
Tanpa mekanisme yang serba daring seperti di Korsel, Efriza hanya bisa berharap Pilkada serentak di Indonesia menerapkan sanksi tegas jika ada yang melanggar protokol kesehatan.
“Sanksi tegas harus diberikan kepada peserta yang dalam kampanye melanggar protokol kesehatan,” ujarnya, seperti dalam rilis yang diterima redaksi, Jumat (25/9/2020).
Menanggapi harapan dari PSKP, Komisioner Koordinator Bidang Humas Bawaslu Kota Semarang Rofiudin mengatakan, sanksi bagi para pelanggar protokol kesehatan sudah diatur dalam regulasi terbaru.
“Ya, kan juga baru diundangkan revisi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang kampanye, yang jelas pelanggar protokol kesehatan harus disanksi tegas,” ujarnya.
Pada aturan terbaru PKPU No. 13 Tahun 2020, kegiatan-kegiatan yang sifatnya bisa menimbulkan kerumunan sudah dilarang. Kegiatan tersebut mencakup rapat umum, kegiatan kebudayaan, konser musik, kegiatan olahraga, perlombaan, kegiatan sosial, dan peringatan hari ulang tahun Partai Politik.
Apabila peserta Pilkada melanggar, tambah Rofiudin, Bawaslu punya peran penting untuk memberikan sanksi berupa peringatan tertulis.
“Kalau peringatan tersebut tidak diindahkan, maka Bawaslu menyampaikan pelanggaran itu kepada kepolisian setempat untuk ditindak sesuai dengan ketentuan yang ada,” tegasnya.
Dalam aturan terbaru juga disebutkan, peserta Pilkada dapat dilarang menyelenggarakan metode kampanye yang dilanggar selama tiga hari berturut-turut berdasarkan rekomendasi Bawaslu Provinsi atau Bawaslu Kabupaten/Kota.
Berbeda dengan dua narasumber pada webinar tersebut, tim Lapor Covid-19 tetap tidak setuju dengan pelaksanaan Pilkada pada akhir tahun nanti. Melalui perwakilannya, Iskandar Sahrudin merekomendasikan Pilkada serentak tahun ini harus ditunda.
“Ini perlu ditunda, rekomendasi dari kami seperti itu.Kalau ditanya sampai kapan, ya sampai kurvanya benar-benar turun, hanya ada 50 kasus harian secara nasional,” ungkapnya.
Rekomendasi tersebut memang berbeda jauh dengan kondisi kasus harian secara nasional. Saat ini, kasus harian sudah mencapai 4000an kasus. Pertambahan kasus yang masih tinggi ini dikhawatirkan akan menjadi momok pada Pilkada serentak 2020.
“Kami mengkhawatirkan terjadinya superspreader. Potensi akselerasi transmisi Covid-19 itu nyata dan berbahaya,” tegas Iskandar.
Narasumber lainnya pada Webinar Series PSKP #14 adalah Heru Dinyo, perwakilan dari Warga Muda Jaga Pilkada. Ia menyampaikan rekomendasi yang berbeda dibanding tiga narasumber lain yakni penerapan e-voting pada Pemilu di Indonesia.
“Dalam berjalannya waktu, e-voting ini perlu persiapan yang mendetail. Bagaimana kekuatan servernya, bagaimana keamanan servernya, bagaimana undang-undang yang mengaturnya, dan sebagainya. Nah e-voting ini harus bisa menjaga itu semua,” jelas Dinyo.
Menurut Dinyo, e-voting ini memiliki sejumlah keuntungan. Misalnya, perhitungan dan tabulasi suara yang lebih cepat dan akurat, membiasakan pemilih dengan teknologi, serta dapat menghembat biaya penyelenggaraan Pemilu.
Meski begitu, ia tidak menampik diperlukannya elit politik dan elemen lain di masyarakat. Seluruh elemen ini harus bisa saling mendukung transformasi ke sistem e-voting.
“Pasti butuh konsensus elit-elit politik untuk bisa menggunakan sistem ini. Anak muda juga harus banyak ambil peran untuk menyosialisasikan, terutama kepada generasi yang berada di atas kita,” pungkasnya.
Webinar Series PSKP #14 “Pilkada di Tengah Pandemi” dihadiri lebih dari 50 peserta dari berbagai daerah di Indonesia. Webinar berdurasi 2 jam tersebut ditutup dengan diskusi tanya jawab antara narasumber dengan para peserta.***
Editor: denkur