Puisi : Agus Dinar. (1)
Soreang Suatu Waktu
Selepas subuh gemuruh
saat kata kata masih merdu
burung lirih berkicau
merisau soal alam hari ini
nun di sana terhampar padi
menguning……
dari batangnya menetes embun
bening…tak beku
di pematang rumput hijau memanjang
menyisakan telapak kaki petani
tak berujung….
di hamparan lain belahan bumi
di atas bukit memayang perdu
di bawah palawija semusim…
oh negeri nan permai
wekwek bebek merancu
membarengi gemercik air
di sela sisa musim seusai panen
oh bulir padi tercecer
berserak….
tercocor…..paruh..
gunung tegak menjulang
pepohonan menghijau berderet
akar menghujam mengikat bebatuan
berselimut tanah
air tak kering..
mengalir ..menyungai
ke muara…
liuk sungai melukis keindahan
menyisakan lumpur keelokan alam Soreang suatu waktu
hanyut…..
dalam keserakahan manusia
Soreang 2022023
Puisi :Agus Dinar (2)
Balada Cinta Lelaki Paruh Baya
lelaki paruh baya terpenjara
pada nyanyian bibir bergincu merah
mengulum…menghisap asap asmara
memabukan….
Ada marah….Ada rindu yang terkekang
emosi bergantung pada denyut hati benak bertanya tentang waktu….
soal status sosial….
soal keshalehan
soal kedhaliman
lantas raga lunglai…
terhimpit harapan yang kian menyempit
gelombang perjalanan waktu diarunginya ….
meski dengan langkah terseok seok badai menghantam tak berkesudahan
karena cinta tak jua memporak porandakan..
emosi cinta kian mengharu biru saat alunan adzan menyelisik..
di sela sela angin….
oh….kekasih datanglah….
…..cintailah aku
puisi : Agus Dinar (3)
Kabar duka, luka Kepergianmu
(*untuk, seseorang yang pernah kucintai)
lambaian tangan mu
berkelebat membiaskan warna
jingga, putih, hitam…
engkau membalikan badan
tak ada senyum
apa lagi tawa…
aku tahu jelaga nista pernah engkau
torehkan…
saat menelusuri kesunyian
di sepanjang jalan berkelok
langkah mu terseok
dan…itu rahasia kita berdua
tak luput aku dengar kabar
perjalananmu telah sampai
meski kau panjangkan jarak
antara aku dan ragamu
kepergianmu menyisakan
ceceran anggur yang menciutkan nyaliku…
kemudian menghentakkan ku
untuk tidak memasungkan diri dalam kenistaan
gundukan tanah merah itu memojokanku
mengingatkanku..
betapa kesunyian itu telah kau lalui
tanpa aku…
kau pergi dengan kenangan yang tersimpan….rapat dalam hatiku…
hatimu….
sendiri ku bersimpuh…
di sisi kanan pusaramu
sambil menanamkan rose merah
yang kupetik kemarin pagi…
bersama tetesan air mataku mengalir…
menghantarkan kepergianmu…
Cirebon 271122
puisi : Agus dinar (4)
* bukan kami punya
desau angin di sela sela pucuk teh sejuk
antara bukit hijau satu afdeling ke afdeling lain ….
suara sengau pemetik pucuk bersenda gurau melepas . ..pilu
nyanyi fals dengan syair tak berrima…
penghapus rasa lara para pemetik
jari jari lentik menghantar pucuk teh terbang jauh
entah ke mana..
hamparan hijau negeriku oh ..
bukan kami punya…
tembang sendu berdesir di sela sela
keangkuhan pohon …….ke pohon..
havea braziliansis mengucur getah putih
berujung di mesin pabrik…….
tangan terampil penyadap…
lempar getah menjadi lembar kenyal
rubber smoke sheet terbang juga
atau dibawa mengarungi samudera..
ke Rusia atau ke Ukraina
entahlah….
karet katanya…… karet rakyat…
tapi bukan kami punya
oh…..bumiku
bumi kaya ….
tapi bukan kami punya
perut bumi dikoyak
bersandar semata demi kami
rakyat…..
cucur keringat dan bara panas
ditambatkan….mengurai
nekel…emas…batu bara…
entah ke mana..
dan ……
bukan kami punya..
Puisi : Agus Dinar (5)
Lelah Mata Mencari Cinta
lelah mata sulit terpejam mencari cinta…
di sepetak kamar hingga dini hari
ada tangan rapuh menggapai tak sampai
tengadah muka, sorot mata tanpa bianglala….
menelisik ke setiap sudut
ketika angin lembut membisikan namaMu
bersujud …… mengucapkan doa
mengkristal pada satu harapan
lirih kusebut impianku…..
aku tidak sedang melucu…..
walau berdoa di sela mata yang sulit memejam
sebentar saja aku rindu memelukMU kekasih….
sudah lama aku kelu mengeja deretan huruf, penyebutMu
kemudian jemari rapuhku ingin juga menggayut dipundakMu
kata cinta, dengan aneka rupa aroma menghambur dari mulutku
berkubang dalam doa…
satu, dua, tiga nama kusisipkan
anak anakku tercinta, orang orang terkasih merupa bintang…..
di langit malam
istriku melambai dengan kulum merupa bibir….
ingin rasanya mengecup…
seperti kecupanku pada hajar aswad
lalu ….
cumbuan bibir basah melafal namaMu
berpamrih untuk mendapat cintaMu
sampai mata lelah…meredup
Makkah 221022
Puisi : Agus Dinar (6)
Bandung Suatu Ketika
…..
mengeja nama kotaku serupa seperti memetik setangkai bunga yang tertanam lepas di teras rumah
oh….
sepanjang jalan di saat malam…
berpendar cahaya lampu memabukan…
ada keinginan untuk menafsirkan huruf yang tereja atas namamu….
meski deretan lampu sepanjang jalan …
tak mampu menembus temaramnya
hati penghuni pinggiran kota
huruf huruf yang terpampang penunjuk nama jalan tidak lantas berjiwa…
hanya menjadi jejak suara kelaluan kemudian mati dalam ingatan.
oh…kekasih barangakali aku harus mengubah keyakinan
keterpinggiran bukanlah kata keterasingan……
tetapi penunjuk dalam kerahasian abadi untuk mempertemukan gairah dan kenikmatan hakiki…
aku tahu kotaku tak lagi memberi ruang untuk berdiskusi tentang kota dan warganya yang terpinggirkan…
haruskah kotaku banjir darah dalam luapan harum aroma bunga
mengeja nama kotaku
membuatku mabuk
dalam huruf huruf tak bertuan
lantas huruf yang tereja lari ke luar fikiran dan mati dalam percakapan tentang dikotomi keindahan dan kesengsaraan
soreang, 041122
Bio data :
Nama lahir Agus Dinar, tempat lahir di Rumah Bersalin Sariningsih Bandung tanggal 3 Agustus 1957.
Lelaki penyuka rujak cuka ini pernah sekolah di SD, SMP, SMA dan pendidikan tinggi tak bergelar akademik.
Menulis puisi baginya, sebuah kontemplasi dari keseharian yang bekerja sebagai wartawan. Profesi wartawan dilakoninya sejak tahun 1982. Mengawali karir jurnalistik di koran terbitan Bandung Mandala, kemudian di Kantor Berita Pemberitaan Angkatan Bersenjata (PAB), Dwi Mingguan berbahasa daerah Sunda ” Giwangkara”. Di tahun 1987 bergabung dengan Harian Umum Suara Karya hingga 2015. Karir wartawannya seusai di HU Suara Karya bergabung dengan media online fokusjabar.com sebagai editor, dan sejak 2018 hingga kini mengelola media online daulat rakyat, dara.co.id.
Sejumlah karya puisi bercecer di sejumlah media masa, baik majalah maupun koran, sejak tahun 1992 dan sempat dibukukan menjadi antologi puisi di tahun 1996, dengan tajuk “Kaki Langit Surabaya Cinta Berlabuh”. Karya lainnya ikut berpartisipasi bersama 100 Haijin dalam Antologi Haiku Semesta “Universe Haiku” (Puisi Jepang klasik) tahun 2016.