Semangat belajar anak-anak desa ini begitu tinggi. Sekalipun mereka harus menyeberangi, mereka tetap masuk sekolah. Kapan pemerintah hadir di sana?
PEMERATAAN pembangunan infrastruktur yang selama ini tengah digaungkan mulai dari pemerintah pusat hingga daerah tak dirasakan masyarakat di Desa Karyamukti, Kecamatan Leles, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Puluhan tahun masyarakat di selatan Cianjur itu harus menantang maut melintasi Sungai Ciderma, karena tidak ada jembatan di wilayah itu.
Tidak adanya akses jembatan ini, sangat berdampak pada sektor ekonomi, pendidikan, dan kesehatan masyarakat setempat. Untuk dapat mengakses hingga sampai ke sekolah, anak-anak di wilayah itu terpaksa harus berenang menyeberangi sungai dengan berbagai resiko kecelakaan yang setiap saat mengintai.
Selain harus berjibaku dengan maut, para siswa di wilayah itu sesekali terpaksa harus menginap di sekolah mereka jika arus sungai sedang deras dan luapan debit air meninggi. “Sekitar 30 tahun kami harus bertaruh nyawa dengan menyeberangi sungai untuk dapat melakukan aktivitas keseharian. Karena tidak adanya jembatan untuk kami menyeberangi sungai,” kata Ilham Hendrayana (34), salah seorang warga Kampung Rahayu Desa Karyamukti.
Menurut dia, ada dua titik sungai yang dijadikan perlintasan masyarakat yakni di Kampung Bojongkoneng dan Kampung Sukalila yang menghubungkan dengan Kampung Bimakarya. Dua titik tersebut menjadi akses utama masyarakat termasuk siswa untuk beraktivitas, karena di Kampung Bimakarya terdapat sarana pendidikan, mulai dari SD, SMP, hingga SMA/SMK sederajat.
Sementara akses lain, masyarakat harus memutar ke Desa Sukasirna dengan jarak dan waktu tempuh yang lebih lama dibandingkan melintas Sungai Ciderma. “Kalau lewat sungai paling sepuluh menit sudah sampai di Kampung sebelah atau siswa tiba ke sekolah. Tapi kalau melintas ke jalur memutar, butuh waktu 1,5 jam hingga 2 jam, karena jalannya rusak parah,” ujarnya.
Karena itu, masyarakat memilih melintas sungai dengan lebar 40 meter, jika sungai surut. Ketika melintas sungai para siswa memasukkan sepatu ke dalam tas dan menggunakan sandal agar tetap kering saat tiba di sekolah.
Terkadang di dalam tas tak hanya diisi buku pelajaran dan alat tulis, melainkan juga pakaian ganti. Jika hujan deras mengguyur wilayah itu beberapa jam, air sungai bisa meluap hingga ketinggian lima meter.
“Kalau airnya tidak tinggi, saya memaksakan berenang untuk menyeberangi sungai,” kata Rifky Abdul Latief, siswa kelas 4 SDN Bimakarya Leles.
Rifky mengaku, selalu takut dan khawatir ketika melintasi sungai dengan kondisi debit air yang meluap, sebab arus air cukup deras. Namun semangatnya untuk belajar mengalahkan ketakutannya.
“Mau gimana lagi, ya berenang. Tapi suka ada warga yang membantu menyeberangkan dengan cara berenang membelah sungai,” ujarnya.
Tapi bagi pelajar yang masih kecil, terutama di tingkat Paud biasanya digendong oleh warga yang sudah siaga di pinggir sungai.
Idris (40), salah seorang warga, mengatakan, warga yang membantu siswa menyeberang karena khawatir akan terbawa arus sungai. Apalagi mereka yang masih usia dini.
“Daripada anak-anak terseret air sungai. Makanya warga bergantian menyeberangkan, soalnya sempat ada siswa yang tenggelam dan terbawa arus hingga meninggal dunia,” kata Idris.
Sementara, Saadulloh, salah seorang guru MTS Leles menjelaskan, meski para siswa dihadapkan pada kondisi yang memprihatinkan, mereka harus melintasi sungai berarus deras, semangat belajar mereka cukup tinggi. “Mayoritas tetap memaksakan sekolah, kecuali jika memang sudah tidak memungkinkan yakni saat luapan air Sungai Ciderma sangat tinggi. Para guru pun memaklumi jika mereka tak bersekolah, ada dispensasi,” ujar Saad.***
Wartawan: Purwanda | Editor: Ayi Kusmawan