Adalah hak anak untuk mendapat perlindungan hukum dalam pemberitaan. Karena itu, para wartawan dituntut lebih apik lagi dalam memberitakannya. Berikut cara menulis berita anak yang berhadapan dengan hukum.
DARA | BANDUNG — Persatuan Wartawan Indonesia Kabupaten Bandung Barat (PWI KBB), Jawa Barat menggelar Diskusi Panel dan Konferensi Kerja di Aula HBS Jalan Cimareme, Ngamprah, KBB, Selasa (26/11/2019).
Pada kegiatan yang dihadiri puluhan wartawan serta stakeholder lainnya itu, mengusung tema Membangun Sinergitas antara PWI KBB dan Pemerintah Daerah KBB dalam Menjaga Hak Anak dari Labelisasi Negatif.
Ketua PWI KBB, Heni Suhaeni, menjelaskan, sebagai mitra pemerintah daerah media dan wartawan bisa betupay berperan dalam mewujudkan program-program yang berdaya guna terhadap masyarakat. “Kenapa kami ambil tema anak ini, karena isunya lagi bagus dan ada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yang harus disampaikan dan diketahui serta kaitannya dengan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA),” ujar Heni kepada Dara.co.id di sela acara.
Menurut Heni, persoalan UU SPPA dan PPRA belum banyak diketahui masyarakat, terutama ketika pihak korban mendapat persoalan dan dirugikan oleh pemberitaan terkait anak. Mereka, lanjut dia, tidak tahu yang harus diperbuat, karena mereka menganggap wartawan selalu benar dan menganggap mereka tidak punya hak tolak dan jawab.
“Dalam diskusi ini mereka (peserta di luar wartawan) dibuka dan dikasih pencerahan. Kalaupun ada sesuatu yang memang tidak sesuai, mereka bisa komplain dan harus kemana larinya,” katanya.
Oleh karena itu, pihaknya bekerja dengan leading sektor yang berkaitan dengan masalah anak, antara lai Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKBP3A), Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), dan Dinas Pendidikan setempat.
Sementara itu, Ketua Bidang Advokasi PWI Jawa Barat, H. Agus Dinar, yang hadir sebagai pemateri, mengatakan, PPRA lahir karena UU SPPA mutlak untuk melindungi anak yang berhadapan dengan hukum tidak memiliki labelisasi yang terstigma.
“Jadi artinya, semua pemberitaan sebagai partisipasi dunia pers terhadap perlindungan anak harus ditutup, sesuai dengan pedoman penulisan ramah anak yang dikeluarkan oleh dewan pers. Sekaligus sebagai pengawal terhadap UU SPPA. Jadi penekanannya di situ,” ujar Agus, seraya berharap, bisa memiliki arti yang bisa dipahami oleh rekan-rekan praktisi jurnalistik.
Terkait aturan PPRA, Agus menuturkan, di dalamnya dijelaskan bahwa seluruh anak-anak yang berhadapan dengan hukum, baik korban, saksi mapun pelaku harus ditutup identitasnya berkaitan dengan nama, alamat, saudara kandung, orangtua kandung, tetangga dan lainnya. Kalaupun penulisan dalam pemberitaan terkait anak yang tersangkut hukum, menurut dia, cukup dengan menulis seorang anak dan usianya, itu untuk memberikan perlindungan awal.
Kalau ditulis inisialnya, orang masih bisa menduga-duga.” Alamat pun cukup wilayah hingga batas Kecamatan yang dikeluarkan. Kenapa perlindungan ini diberikan, untuk melindungi atau menjaga hal-hal yang traumatik anak di masa depannya,” kata dia.***
Wartawan: Muhammad Zein | Editor: Ayi Kusmawan